Pertama, aku bukan orang yang percaya menulis bisa diajarkan. Tapi bisa dipelajari dengan cara anarkis.  Dengan caraku atau caramu sendiri.  Itu akan membuat seseorang menjadi penulis yang unik, punya signature sendiri. Bukan epigon atau apapun yang semacam itu.
Kedua, aku bukan orang yang percaya ada tip menulis yang berlaku bagi siapa saja. Â Bagiku tip itu bersifat personal, tak berlaku bagi orang lain. Â Aku lebih suka menyebutnya "proses kreatif personal". Â Tak bisa diajarkan, tapi bagus menjadi bahan pelajaran bagi siapa saja.
Ketiga, aku tak terima adanya distingsi antara tulisan "populer" dan "tak populer". Apa gunanya distingsi semacam itu. Â Apa pula ukurannya. Â Bukankah populer itu sebuah keadaan yang berubah sepanjang waktu? Â Dulu populer, sekarang nyungsep? Â
Lagi pula siapa yang bisa menulis populer? Kalau menulis  fiksi semacam puisi, cerpen, novelet, atau novel, ya, bisa.  Juga menulis artikel non-fiksi.
Tapi akhirnya aku ikut juga webinar itu. Senin 21 November 2022 Â pukul 19.00-20.15 WIB. Â Itu menjelang malam.
Bukan untuk diajari Dee Lestari. Â Tapi untuk belajar dari pengalaman kreatifnya. Caranya? Ya, dengan membaca Dee Lestari sepanjang dia bicara.
Memang aku sempat gagal fokus juga. Â Sebab Acek Rudy, the host, tak kalah memikat gesture, suara, dan gaya bicaranya. Untungnya dia seorang lelaki. Â Jadi lupakan saja. Â Emangnye bakalan apaan?
Lalu apa yang saya pelajari dengan membaca Dee Lestari pada uraiannya selama satu seperempat  jam, dipotong intersep Acek Rudy yang bikin galfok itu?
Ada tiga.Â
Pertama, soal ide. Â Dee bicara soal ide antara itu ada di luar kepala atau di dalam kepala. Antara kamu mencari ide atau kamu dicari ide. Â
Aku belajar, diriku tak mencari atau dicari ide. Â Ide itu karunia Sang Khalik, suatu bawaan yang sudah melekat pada diri sejak lahir. Â