Apa yang sedang dilakukan pengacara FS dan PC sejatinya adalah menegakkan sebuah "kebenaran semu" berdasar "kepalsuan-kepalsuan logika" (logical fallacies).
"Kebenaran semu" yang hendak ditegakkan adalah kesimpulan bahwa Brigadir J bukan lelaki baik-baik dan, karena itu, masuk akal bila dia melakukan pelecehan seksual kepada PC.
Tapi tidak ada kebenaran yang berasal dari kesalahan. Prinsip itu berlaku di sini.
Pengacara FS dan PC, sebagaimana tercermin pada pertanyaan/ pernyataan Sarma tadi, telah berupaya menegakkan kebenaran di atas dasar kepalsuan logika.
Sekurangnya dapat dikenali dua kepalsuan logika di situ.
Pertama, pengalihan perhatian (red herring fallacy). Mempertanyakan gaya hidup dan kehidupan asmara Brigadir J sama sekali tidak ada kaitannya dengan tindak pembunuhan terhadapnya. Bahkan tak berkait dengan status Brigadir J sebagai ajudan FS ataupun PC.Â
Pengacara FS dan PC juga paham soal itu.
Tapi isu seputar gaya hidup dan asmara memang sangat menarik. Bisa menyita perhatian khalayak. Bahkan membentuk kontra-opini tentang Brigadir J yang selama ini dipersepsikan sebagai "anak baik (yang hormat pada orangtua)".
Andai saja Reza (adik J) dan Vera (pacar J) terpancing emosinya menanggapi pertanyaan pengacara FS dan PC, maka berita tentang gaya hidup dan asmara Brigadir J akan viral. Polemik tentang kasus pembunuhan Brigadir J bisa saja bergeser fokusnya pada karakter "buruk" Brigadir J.
Untunglah hakim, juga jaksa, sangat paham soal permainan logika palsu semacam itu. Â
Kedua, manipulasi emosi (argumentum ad passiones). Hal ini berpangkal pada pengakuan FS bahwa pembunuhan Brigadir J dipicu tindakannya melecehkan PC secara seksual.  Pembunuhan itu dilakukan demi kehormatan keluarga  (honour killing).