Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pak Nadiem, Tolong Revisi Aturan Seragam Pakaian Adat

27 Oktober 2022   13:40 Diperbarui: 27 Oktober 2022   15:44 915
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi murid-murid sekolah mengenakan pakaian adat. (Foto: Merdeka.com/imam buhori)

Polemik soal seragam pakaian adat untuk murid sekolah dasar dan menengah, yang kini sedang menghangat, sejatinya berpangkal pada ketidak-jelasan dan, karena itu, akan berakhir pada ketidak-jelasan pula.

Di mana letak ketak-jelasannya?  Ya, di dalam Peraturan Mendikbudristek Nomor 50/2022 tentang seragam sekolah itu sendiri. [1] 

Saya mencatat tiga masalah atau ketak-jelasan dalam peraturan itu.

Pertama, peraturan itu tak mencantumkan pengertian ("yang dimaksud dengan") "pakaian adat".  Silahkan periksa Pasal 1 Bab I Ketentuan Umum.  Tak ada batasan pakaian adat yang seharusnya menjadi acuan pelaksanaan peraturan itu. Seolah-olah arti "pakaian adat" sudah ada dan "diterima begitu saja" (taken for granted) dalam masyarakat.

Kedua, tanpa pengertian yang spesifik, Pasal 4 peraturan itu langsung mengamanatkan "... Pemerintah Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dapat mengatur pengenaan pakaian adat bagi Peserta Didik pada Sekolah."  

Itu sangat janggal karena "pakaian adat" itu kewenangan masyarakat hukum adat, bukan Pemerintah Daerah. Masyarakat hukum adat adalah entitas otonom, atau sekurangnya semi-otonom, dalam urusan-urusan adat tertentu.  Salah satunya dalam urusan pakaian adat yang sarat simbol-simbol kebudayaan kelompok etnis tertentu.

Ketiga, terkait Pasal 4, pada Pasal 9 diberikan wewenang kepada Pemerintah Daerah untuk menerapkan model dan warna pakaian adat, dengan memperhatikan hak setiap murid menjalankan agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai keyakinannya. 

Ini juga sangat janggal karena memposisikan agama/kepercayaan sebagai faktor penentu -- atau mungkin pembatas atau kontrol -- untuk model dan warna pakaian adat. Itu artinya adat disubordinasikan pada agama/kepercayaan. Tentu dengan perkecualian pada etnis Minangkabau yang menganut kearifan "adat basandi sarak, sarak basandi kitabullah".  Pakaian adatnya menyesuaikan dengan Quran.

Tiga masalah di atas menjadi alasan bagi saya untuk mengatakan polemik, atau pro/kontra, soal seragam "pakaian adat" itu sejatinya meributkan suatu "barang" yang tak jelas batasannya.  

Dalam polemik yang sedang berlangsung, terjadi pencampur-adukan antara "pakaian adat" dan "pakaian daerah".  Padahal itu dua hal yang berbeda.  Saya akan jelaskan secara singkat di bawah ini.

***

Saya mulai dari pengertian "adat" dan "daerah".  Itu dua hal yang berbeda.  Adat itu konsep antropologis atau secara spesifik etnologis. Sedangkan daerah itu konsep geografis.

Adat itu adalah tingkatan norma tertinggi, berupa hukum (adat) bersifat mengikat dengan sanksi yang tegas, pada suatu masyarakat hukum adat atau lazim dikenal sebagai kelompok etnis spesifik (dan distingtif). 

Contoh, adat Batak Toba.  Itu menunjuk pada perangkat norma tertinggi atau hukum adat yang dibentuk dan diterima berlaku dalam masyarakat hukum adat (sub-etnis) Batak Toba. 

Sementara konsep daerah menunjuk pada suatu bentang geografis yang diakui sebagai wilayah kekuasaan suatu otoritas pemerintahan (politik), entah itu pemerintahan suatu negara nasion atau negara lokal semacam kelompok suku.

Di masa lalu suatu kelompok etnis atau masyarakat hukum adat memang secara tegas menguasai suatu bentang geografis atau daerah tertentu.  Semisal etnis Batak Toba di Tanah Batak, etnis Minangkabau di Ranah Minang, etnis Dayak di pedalaman Kalimantan, etnis Toraja di Tana Torajaulawesi, dan etnis Dani di Lembah Baliem, Papua. 

Tapi seiring dengan terbentuk dan berkembangnya Negara Kesatuan RI, suatu daerah menjadi terbuka untuk semua kelompok etnis lewat proses migrasi ataupun transmigrasi. Karena itu di Daerah Minangkabau atau Sumatera Barat kini ada pula komunitas-komunitas etnis Jawa (transmigran), Nias, Mandailing, dan Melayu Riau.

Begitu pula dengan Jakarta, daerah mukim etnis Betawi, sekarang menjadi daerah multi-etnik.  Gejala serupa terjadi juga pada kota-kota besar lain seperti Medan, Surabaya, dan Makasar.

Dengan perbedaan konsep "adat" dan "daerah" tersebut, maka jelas beda pula antara "pakaian adat" dan "pakaian daerah". 

Pakaian adat adalah kelengkapan busana yang -- berdasar kesepakatan internal -- berlaku spesifik untuk warga masyarakat hukum adat, baik kelompok etnis ataupun sub-etnis, tertentu dimanapun warga itu berdiam. Pakaian adat untuk orang Batak Toba berlaku sama baik untuk mereka yang tinggal di Tanah Batak maupun di luar Tanah Batak.

Mengingat adanya persebaran kelompok etnis ke berbagai daerah di Indonesia, maka di suatu daerah bisa saja terdapat sejumlah pakaian adat, seturut jumlah kelompok etnis yang hidup di situ.  Di daerah Sumatera Barat misalnya, jika mengambil contoh aras provinsi, eksis pakaian adat Minangkabau, Melayu Riau, Jawa, Mandailing, dan Nias.  Di Jakarta eksis pakaian adat dari hampir setiap suku bangsa di Indonesia.

Lalu seperti apa itu yang disebut "pakaian daerah"?  Jika merujuk pada nama-nama "pakaian daerah" untuk 37 provinsi di Indonesia, pakaian daerah itu tampaknya mengikuti "pakaian adat" etnis mayoritas atau etnis asli (pemukim awal) di satu daerah.  Di Sumatera Barat misalnya pakaian adat Minangkabau yaitu "Bundo Kanduang", ditetapkan sebagai "pakaian daerah".  Untuk DKI Jakarta, pakaian adat etnis Betawi yaitu Kebaya Encim (perempuan) dan Sadariah (lelaki) ditetapkan sebagai "pakaian daerah". [2]

Jika merujuk pada daftar "pakaian daerah" di 37 provinsi, maka ada dugaan bahwa penetapannya bersifat etnosentris. Kecenderungannya adalah penetapan pakaian adat etnis mayoritas (contoh Sumbar) atau etnis asli (contoh jakarta) sebagai "pakaian daerah".  Itu berarti mensubordinasikan berbagai pakaian adat lainnya terhadap pakaian adat etnis mayoritas/asli di suatu daerah.

Subordinasi semacam itu mungkin bisa saja ditolerir, sejauh penetapan itu adalah keputusan politis yang diambil secara musyawarah oleh pemerintah, DPRD, dan tokoh-tokoh adat berbagai kelompok etnis di suatu daerah. Toleransi di situ termasuk kerelaan mengenakan pakaian daerah yang mengandung simbol-simbol suatu agama tertentu (yang bukan agama pemakai).

Tapi sekali satu pakaian adat etnis tertentu disepakati sebagai "pakaian daerah", maka penyebutan "pakaian adat" tidak berlaku lagi baginya, jika pakaian itu dimaksudkan sebagai "pakaian persatuan" untuk semua warga di suatu daerah.  Nama yang mesti disematkan padanya adalah "pakaian daerah".

Dengan demikian, tidak ada misalnya "pakaian adat" Provinsi Sumatera Utara.  Tetapi "pakaian daerah" Sumatera Utara.

***

Berdasarkan uraian di atas, terutama merujuk pada pengertian dan distingsi "pakaian adat" dan "pakaian daerah", saya mengusulkan kepada Pak Nadiem Makarim, Mendikbudristek agar sudi meninjau-ulang untuk kemudian merevisi Permendikbudristek Nomor 50/2022 itu.

Ada dua cara merevisinya.  

Cara pertama, mencabut Pasal 4 dan Pasal 9 untuk kemudian membuat peraturan penggunaan pakaian adat, atau pakaian daerah, di sekolah.  Sebab pakaian adat/daerah lebih menunjuk pada keberagaman (kemajemukan) budaya ketimbang keseragaman ala persekolahan.  Ikhwal pakaian adat/daerah itu lebih merupakan urusan kebudayaan ketimbang urusan pendidikan.

Cara kedua, jika Pasal 4 dan dan Pasal 9 hendak dipertahankan dalam peraturan itu, adalah melakukan perubahan-perubahan sebagai berikut:

Pertama, menghilangkan frasa "pakaian adat" seperti pada Pasal 4 dan Pasal 9 untuk kemudian diganti dengan frasa "pakaian daerah".

Kedua, mencantumkan batasan (pengertian, definisi) "pakaian daerah" sebagai salah satu butir pada Pasal 1 Bab I Ketentuan Umum, untuk menghindari penafsiran yang semena-mena oleh Pemerintah Daerah sebagai pelaksana peraturan.

Ketiga, mengatur secara spesifik pada Pasal 4 bahwa "pakaian daerah sekolah" berbeda dari pakaianyang (mungkin) telah ditetapkan sebagai "pakaian daerah" di suatu provinsi.

Keempat, mengatur secara spesifik pada Pasal 9 bahwa model dan corak  "pakaian daerah sekolah" disepakati bersama oleh Pemerintah Daerah, DPRD, dan dewan/tokoh adat semua kelompok etnis di suatu daerah.

Kelima, batasan Pemerintah Daerah pada Butir 8 Pasal 1 Bab I Ketentuan Umum ditetapkan sebagai Pemerintah Daerah Provinsi, untuk memastikan model "pakaian daerah sekolah" memuat simbol-simbol kebersamaan dalam kemajemukan etnis di suatu daerah.

Saya mengusulkan revisi peraturan seperti di atas karena, seperti sudah dipaparkan di atas, Permendikbudristek Nomor 50/2022 itu berpotensi mensubordinasikan pakaian adat etnis tertentu terhadap pakaian adat etnis lainnya.  

Selain itu, ia juga berpotensi memberi ruang kepada Pemerintah Daerah untuk mengintervensi otonomi masayarakat adat, sehingga justru merusak simbol-simbol dan nilai-nilai budaya yang tersemat pada pakaian adat asli.

Intinya, Pak Nadiem, Permendikbudristek Nomor 50/2022 itu berpotensi sebagai "instrumen etnosentrisme", pengagungan adat satu etnis tertentu, sehingga perlu direvisi sesuai lima butir usulan di atas. (eFTe)

Acuan:

[1] Peraturan Mendikbudristek Nomor 50/2022 tentang Pakaian Seragam Sekolah bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah.

[2] "Daftar Nama Pakaian Adat dari 37 Provinsi di Indonesia", Kompas.com, 18/7/2022.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun