Lalu seperti apa itu yang disebut "pakaian daerah"? Â Jika merujuk pada nama-nama "pakaian daerah" untuk 37 provinsi di Indonesia, pakaian daerah itu tampaknya mengikuti "pakaian adat" etnis mayoritas atau etnis asli (pemukim awal) di satu daerah. Â Di Sumatera Barat misalnya pakaian adat Minangkabau yaitu "Bundo Kanduang", ditetapkan sebagai "pakaian daerah". Â Untuk DKI Jakarta, pakaian adat etnis Betawi yaitu Kebaya Encim (perempuan) dan Sadariah (lelaki) ditetapkan sebagai "pakaian daerah". [2]
Jika merujuk pada daftar "pakaian daerah" di 37 provinsi, maka ada dugaan bahwa penetapannya bersifat etnosentris. Kecenderungannya adalah penetapan pakaian adat etnis mayoritas (contoh Sumbar) atau etnis asli (contoh jakarta) sebagai "pakaian daerah". Â Itu berarti mensubordinasikan berbagai pakaian adat lainnya terhadap pakaian adat etnis mayoritas/asli di suatu daerah.
Subordinasi semacam itu mungkin bisa saja ditolerir, sejauh penetapan itu adalah keputusan politis yang diambil secara musyawarah oleh pemerintah, DPRD, dan tokoh-tokoh adat berbagai kelompok etnis di suatu daerah. Toleransi di situ termasuk kerelaan mengenakan pakaian daerah yang mengandung simbol-simbol suatu agama tertentu (yang bukan agama pemakai).
Tapi sekali satu pakaian adat etnis tertentu disepakati sebagai "pakaian daerah", maka penyebutan "pakaian adat" tidak berlaku lagi baginya, jika pakaian itu dimaksudkan sebagai "pakaian persatuan" untuk semua warga di suatu daerah. Â Nama yang mesti disematkan padanya adalah "pakaian daerah".
Dengan demikian, tidak ada misalnya "pakaian adat" Provinsi Sumatera Utara. Â Tetapi "pakaian daerah" Sumatera Utara.
***
Berdasarkan uraian di atas, terutama merujuk pada pengertian dan distingsi "pakaian adat" dan "pakaian daerah", saya mengusulkan kepada Pak Nadiem Makarim, Mendikbudristek agar sudi meninjau-ulang untuk kemudian merevisi Permendikbudristek Nomor 50/2022 itu.
Ada dua cara merevisinya. Â
Cara pertama, mencabut Pasal 4 dan Pasal 9 untuk kemudian membuat peraturan penggunaan pakaian adat, atau pakaian daerah, di sekolah. Â Sebab pakaian adat/daerah lebih menunjuk pada keberagaman (kemajemukan) budaya ketimbang keseragaman ala persekolahan. Â Ikhwal pakaian adat/daerah itu lebih merupakan urusan kebudayaan ketimbang urusan pendidikan.
Cara kedua, jika Pasal 4 dan dan Pasal 9 hendak dipertahankan dalam peraturan itu, adalah melakukan perubahan-perubahan sebagai berikut:
Pertama, menghilangkan frasa "pakaian adat" seperti pada Pasal 4 dan Pasal 9 untuk kemudian diganti dengan frasa "pakaian daerah".