Memandang ke arah barat dari kampung itu, tampaklah teluk Binangalom yang indah. Di kejauhan terlihat ujung selatan pulau Samosir.
"Horas!" Kerabat orangtua Saulina menyambut rombongan.
"Horas!" Anggota rombongan membalas, senyampang turun dari motir prah.Â
Poltak, Binsar, dan Bistok  yang pertama turun. Bertiga serentak melompat dari pintu belakang bak motor prah itu.
Anak-anak Binangalom memandang iri pada tiga sekawan itu. Â Bagi mereka, jangankan naik motor prah, melihatnya pun sangat jarang. Â
Sama-sama kampung di daratan Uluan-Toba, dibanding Panatapan, Binangalom lebih terbelakang. Kampung itu terlalu jauh dari jalan raya. Â Tak ada angkutan darat yang masuk ke sana.Â
Alat transportasi  utama bagi warga Binangalom adalah kapal danau.  Dengan kapal itu warga kampung  bepergian ke Parapat, Porsea,  dan Balige, atau ke Onanrunggu di Samosir.
"Buntora! Â Sini kau. Â Kenalan dengan teman-temanmu ini. Â Ajak mereka main-main!" Ayah Saulina berteriak kepada seorang anak lelaki yang sedang takjub mengamati roda-roda motor prah.
"Olo, Among." Â Anak bernama Buntora itu adik Saulina. Â Dia berlari mendekat, bersalaman, dan berkenalan dengan Poltak, Binsar, dan Bistok.
Ada yang spesial. Hidungnya yang berhias ingus hijau dan tubuhnya yang bongsor. Itu mengingatkan Poltak pada sosok Polmer.
"Mereka laemu," Ayahnya menegaskan.