Dengan mengambil teknik mosaik itu sebagai cara tulis, sejatinya saya sudah menerapkan anarkisme metodologi ala filsuf Paul Feyerabend. Artinya, metode apa saja boleh dalam sastra.
Karena pendekatan tulisnya seperti itu, maka izinkan saya menyebut Poltak sebagai sebuah "novel mosaik". Dia adalah produk anarkisme metodologi.
Apakah hal itu sesuatu yang baru dalam khasanah sastra? Jujur, saya tidak tahu.
Yang kutahu, sampai hari ini saya sudah menganggit 97 keping (nomor) dari novel mosaik Poltak itu. Â Barangkali tak sampai sepuluh keping atau nomor lagi, maka novel mosaik itu akan selesai.Â
Dan bila nomor terakhir sudah selesai, saya berharap, para pembaca Poltak akan dapat menerima bahwa mereka memang sedang membaca sebuah novel yang seutuhnya.
Seperti citra indah lukisan mosaik baru akan terlihat setelah keping terahir dilekatkan, demikian pula keindahan novel mosaik Poltak akan terasakan setelah nomor terakhir menutupnya.
Saya sudah menuliskan proses kreatifku di sini. Itu sebagai pertanggung-jawaban. Sekaligus pertinggal bila ikhwal metode itu suatu saat hilang dari ingatan. Juga, barangkali, sebagai kontribusi metode dalam dunia sastra. Mana tahu ada manfaatnya bagi pembaca, bukan?
Ah, maafkanlah. Si tua ini sudah terlalu banyak bertutur. Lupa bahwa kamu mungkin bukan salah seorang dari sedikit pembaca setia novel Poltak.
Mauliate. Horas jala gabe. (eFTe)
Â
Â