***
Saya bukanlah seorang penulis fiksi. Saya besar dalam tradisi penulisan sains, non-fiksi. Sekalipun itu dua tradisi literasi yang bisa saling menginspirasi, tapi jelas berjalan di dua rel paralel. Sekat demarkasinya tegas.
Pertanyaan besar bagi saya saat memutuskan menulis Poltak adalah soal teori dan metode. Dengan tuntunan teori dan metode macam apa saya harus menuliskannya?
Saya bingung. Benar-benar bingung. Sedikitpun saya tak punya pengetahuan tentang teori dan metode sastra.
Saya cuma punya pemikiran akan menulis kisah masa kecil Poltak di masa lalu berdasar pandangan masa kini. Dengan konsekuensi pikiran, perkataan, dan tindakan tokoh Poltak mungkin akan melampaui zamannya. Itu semacam pengabaian terhadap prinsip konjektur konsistensi-diri dari fisikawan Igor D. Novikov. Â
Tapi bagaimana caranya?
Sampai pada suatu titik buntu, saya mendadak teringat pelajaran melukis dengan teknik mosaik sewaktu sekolah di seminari pada pertengahan 1970-an.
Itu seperti anekdot Newton kejatuhan buah apel. Maka jadilah hukum gravitasi Newton. Atau Archimedes berendam dalam bak mandi. Maka jadilah Hukum Archimedes.
Teknik mosaik sendiri adalah melukis dengan cara menyusun ratusan bahkan ribuan keping-keping unik kecil warna-warni sehingga membentuk sebuah lukisan utuh. Kelak teknik mosaik itu mengilhami permainan lukisan passel (puzzle).
Eureka!
Maka jadilah saya mulai menulis nomor-nomor novel Poltak sebagai keping-keping unik sebuah lukisan mosaik. Novel Poltak saya andaikan sebagai sebuah lukisan mosaik. Citra seutuhnya baru dapat diketahui nanti setelah keping terakhir dilekatkan.