Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Gondang Bolon Batak: Di Bawah Ancaman Musik Modern [Bagian 3]

27 September 2022   13:34 Diperbarui: 1 Oktober 2022   21:34 1529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Setelah Gereja HKBP dan Katolik  memberi ruang pada Gondang Bolon Batak dalam peribadatan lewat pendekatan inkulturatif, ancaman terhadap eksistensi gondang justru datang dari musik modern."

Dalam artikel terdahulu (Bagian 2), saya sudah paparkan sikap Gereja  HKBP dan Katolik terhadap Gondang Bolon Batak.  Pada mulanya  Gereja mengambil sikap anti-gondang.  Gondang dianggap  bagian dari ritual paganis Batak yaitu  hasipele-beguon, penyembahan para roh. Menurut Gereja hanya ada satu Tuhan yang harus disembah yaitu Tuhan Allah Yang Maha Esa. 

Tapi kemudian hari  Gereja mulai mengabarkan Injil dengan pendekatan inkulturatif. Pendekatan ini menjadikan budaya setempat sebagai sarana penginjilan. Dengan begitu Gereja, walau secara berhati-hati,  mulai memberi pengakuan pada Gondang Bolon, bagian dari budaya Batak. Gondang kemudian diadopsi  sebagai salah satu bentuk doa puji-syukur kepada Tuhan Allah. 

Tapi Gereja juga membawa serta musik modern Barat bersamanya, sebagai lagu-lagu sembah, syukur, dan puji kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan cepat orang Batak mengadopsi lagu dan alat musik bertangga-nada diatonis ke dalam khasanah seni budaya. Alat-alat musik seperti gitar, terompet, dan organ/keyboard dengan cepat meluas ke Tanah Batak.  Kemudian hari begitu juga dengan drum, tam-tam, simbal, dan saksofon. 

"Invasi" musik modern ke dalam khasanah seni budaya Batak kini menjadi ancaman bagi eksistensi Gondang Bolon. Saya akan coba jelaskan bagaimana hal itu terjadi, dan apa saja dampaknya. 

Gelombang Invasi Musik Modern

Invasi musik modern ke wilayah seni budaya Batak terjadi dalam tiga gelombang sebagai berikut ini.

Gelombang I: Musik Gerejawi. Bersamaan dengan Kristenisasi sejak akhir 1800-an, musik diatonis Barat menginvasi budaya Batak dalam wujud lagu dan musik gereja. Lagu Natal "Malam Kudus", aslinya berbahasa Jerman, tentu saja paling ikonik. Itu salah satu dari banyak lagu Gereja Barat yang dialih-bahasakan ke dalam  bahasa Batak Toba. 

Tapi dalam perkembangannya, Gereja mulai nenerapkan pendekatan inkulturasi dalam karya penginjilan. Bersamaan dengan itu, seperti disinggung di atas, musik gondang mulai diadopsi sebagai bagian dari musik gereja.

Gelombang II: Musik Modern. Pada periode Gereja melarang Gondang Bolon dalam liturgi, musik modern dengan instrumen terompet (brass) dan drum (tambur) berkembang sebagai substitusinya. 

Musik terompet kemudian tampil sebagai pengganti musik gondang. Dalam upacara adat perkawinan dan adat kematian, orang Batak manortor dengan iringan musik terompet dan drum. Hal ini memungkinkan umat gereja yang masih melarang Gondang Batak, yaitu gereja karismatik (Pentakosta),  ikut manortor.

Uniknya, lagu-lagu yang dimainkan kelompok musik terompet itu didominasi lagu-lagu rakyat dan pop Batak serta lagu-lagu gereja. Sama sekali tidak memainkan repertoar gondang sebagaimana pakemnya.  

Gelombang III:  Perpaduan Alat Musik Modern dan Alat Musik Tradisi. Sejak akhir tahun 2000-an muncul varian baru musik pesta yaitu perpaduan alat musik modern dan alat musik gondang. Dari musik modern ada organ, gitar, saksofon, tamtam, simbal, dan drum. Dari musik gondang ada taganing, gordang, hasapi (kecapi), dan sulim (seruling) Batak. Dua alat musik terakhir ini adalah alat utama dalam musik Gondang Hasapi, varian gondang untuk acara adat kecil di dalam rumah.

Dalam musik gabungan ini, sulim memainkan melodi seperti halnya sarune bolon (serunai besar) dalam Gondang Bolon. Dengan begitu, musik ini bisa memainkan repertoar-repertoar asli Gondang Bolon. Selain juga memainkan lagu-lagu rakyat Batak, lagu pop Batak, dan lagu gereja. Biasanya ada juga satu, dua, atau tiga orang vokalisnya.

Musik yang memadukan alat musik modern dan allat musik gondang ini sekarang menjamur. Grup-grup musik itu cenderung menjadi pilihan utama dalam pesta-pesta adat Batak, baik itu di bona pasogit (kampung halaman) maupun di parserahan (perantauan) seperti di kota Medan, Pekanbaru, Batam, dan Jabodetabek. Disamping grup-grup penyanyi trio Batak yang menjadi fenomena tersendiri.

Suatu penampilan Gondang Bolon di Toba (Tangkapan layar Youtube Sopandi Manurung)  
Suatu penampilan Gondang Bolon di Toba (Tangkapan layar Youtube Sopandi Manurung)  

Disrupsi Pasar dan Desakralisasi 

Kehadiran grup-grup musik modern Gelombang III itu membawa dampak negatif pada eksistensi Gondang Bolon Batak. Sekurangnya ada dua dampak negatif penting.

Pertama, disrupsi pasar Gondang Bolon. Umumnya orang Batak kini cenderung memilih musik modern sebagai kelengkapan acara-acara adat penting seperti adat perkawinan dan adat kematian. Akibatnya panggilan manggung untuk grup-grup Gondang Bolon semakin jarang. Jika tren ini dibiarkan tanpa solusi, maka eksistensi Gondang Bolon secara pasti akan memudar. 

Kedua, desakralisasi musik gondang. Grup-grup musik modern memang tetap bisa memainkan repertoar gondang, disamping lagu-lagu rakyat dan pop Batak. Hadirin juga tetap bisa manortor.

Tapi musik gabungan alat modern dan tradisi itu tak akan pernah setara dengan Gondang Bolon karena empat hal berikut ini:

  • Adat Gondang Bolon tidak dijalankan. Sebab pemusik tak memenuhi syarat untuk menyandang gelar Raja Na Ualu (Delapan Raja yang memainkan 8 alat musik gondang) atau Pandenami  Panggonsi Namalo (Ahli Gondang yang Mumpuni). Karena itu aturan-aturan adat gondang tak dijalankan sesuai pakem. (Tentang adat gondang ini akan dibahas padas artikel terpisah).
  • Status alat musik gondang seperti taganing, gordang, sulim, dan hasapi di situ tak lebih dari instrumen musik biasa. Bukan lagi instrumen musik Gondang Bolon yang sakral, dalam arti menjadi alat bantu untuk memanjatkan doa kepada Tuhan yang Maha Kuasa.
  • Repertoar yang dimainkan tidak lagi murni repertoar Gondang Bolon. Tapi sudah bercampur dengan lagu rakyat/pop Batak (misalnya: Marragam-ragam, Leleng Hupaima. Sengko-sengko) dan lagu gereja.
  • Tortor yang dilakukan hadirin tak sepenuhnya lagi sesuai pakem tortor Batak. Gerakannya untuk sebagian malah terlihat mirip joged atau ajojing, sehingga tak lagi bisa disebut tortor, doa dalam gerak.  

Saya akan berikan contoh gejala desakralisasi gondang. Silahkan saksikan dua video repertoar Sampur Marmeme berikut. Video pertama adalah penampilan grup musik kolaborasi modern dan tradisi Jior Etnik (Kanal Youtube Roland Tobing):


Video kedua adalah penampilan satu kelompok pargonsi Gondang Bolon dari Samosir (Kanal Youtube Apen Panjaitan):


Terasa bedanya, bukan?  Penampilan  kelompok musik Jior Etnik itu terdengar apik. Asyik untuk bergoyang, atau manortor gaya bebas. Tapi kesan yang ditimbulkan tak lebih dari sekadar musik ringan yang dimainkan secara santai untuk menghibur.  Dan memang penampilan kelompok itu adalah hiburan dalam sebuah pesta orang Batak.

Video kedua terasa bernuansa sakral.  Setiap instrumen gondang menyuarakan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa.  Sebab gondang Sampur Marmeme memang adalah doa permohonan hula-hula (pihak pemberi istri) kepada Tuhan agar boru-nya (pihak penerima istri) dikaruniai keturunan yang banyak.  Perhatikan ekspresi partaganing dan parsarune yang setengah trance.

Wasanakata

Invasi musik modern ke wilayah seni budaya Batak Toba memiliki sisi negatif tapi juga positif. Di satu sisi dia berdampak disruptif terhadap pasar Gondang Bolon.  Serta berdampak desakralisasi terhadap Gondang Bolon dan alat musik gondang.

Tapi di sisi lain menjamurnya kelompok-kelompok musik kolaboratif modern-tradisi adalah peluang untuk revitalisasi Gondang Bolon.  Para pemain instrumen gondang dalam kelompok-kelompok musik itu, sebagian masih remaja dan bahkan anak-anak, dapat dibina sebagai calon generasi penerus bagi partaganing senior yang sudah memasuki usia uzur. Sebagian dari mereka bahkan sudah berpulang tanpa pengganti.

Memainkan instrumen musik gondang dalam kelompok musik modern mungkin adalah sebuah cara untuk, pada tahap selanjutnya, mencintai dan tertarik menjadi pemain Gondang Bolon Batak.  

Pertanyaannya kemudian, apakah para tokoh Gondang Bolon Batak, lembaga budaya Batak setempat, dan pemerintah daerah sudah memiliki kebijakan dan program revitalisasi Gondang Batak?  Tanpa sinergi para pemangku untuk revitalisasi Gondang Batak, suatu saat nanti gondang Batak mungkin tinggal narasi dalam laporan riset atau dokumentasi di media digital. (eFTe)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun