Intinya, para job hopper menilai diri terlalu hebat untuk suatu pekerjaan yang dilakoni. Karena itu mereka selalu berpindah-pindah untuk menemukan pekerjaan yang setara dengan nilai dirinya. Ujungnya bisa persis seperti kata pepatah Jawa milih-milih tebu oleh boleng -- pilih ruas dapat buku.
Tentang quiet quitting, alasan ketak-puasan itu juga berlaku. Sudah kerja keras, tapi penghargaan tak memadai. Sudah kasih ide cemerlang, tapi tak didengar atasan. Ya, sudah kerja pas-pasan saja, sesuai standar tugas pokok dan fungsi serta jam kerja.Â
Quiet quitting itu kesannya seperti menata keseimbangan kerja dan hidup (work-life balancing). Tapi saya kira tidak begitu. Setiap pekerja selalu ingin lebih kreatif dan produktif, dan mereka tahu untuk mewujudkan itu tidak bisa dengan formula kerja business as usual. Pasti diperlukan korbanan waktu dan energi. Itu bisa mereka terima, sepanjang ada imbalan yang layak untuk setiap tambahan kreativitas dan produktivitas.
Masa gap harapan dan kenyataan itu adalah masa derita (painful period). Di masa itulah faktor mentalitas akan tampil sebagai penentu. Jika mental cemen, maka pasti akan terpental, alias quiet quitting atau kemudian job hopping karena tak kuat lagi.Â
Mental cemen di sini bermakna "tinggi hati". Merasa hebat dan karena itu berharap penghargaan lebih. Ternyata justru diabaikan atasan. Ya, sudah, ngambeg saja.
Lain hal bisa mental baja. Pasti tahan banting. Dapat posisi rendah dulu, lakoni dengan baik. Dapat imbalan kecil dulu, lakoni juga. Inovasi atau kreativitas tak dihargai atasan, tak perlu berkecil hati. Intinya, apapun itu, pekerjaan jangan sampai merusak diri.
Sepanjang organisasi tempat kerja menerapkan meritokrasi, pada akhirnya pekerja bermental baja akan naik tangga karier. Hanya soal waktu, cepat atau lambat.
***
Saya tidak sedang bicara omong kosong teoritik. Paparan di atas berdasar pengalaman sendiri. Izinkan saya berkisah sedikit.
Minggu-minggu pertama bekerja di sebuah lembaga penelitian pembangunan di Bogor, kepala lembaga menugaskan saya untuk membuat kliping berita koran tentang pembangunan pedesaan. Hanya dan hanya membuat kliping berita koran.
Mula-mula hati saya berontak. Lha, saya ini kan sarjana. Kok dikasih kerja rendahan. Bermain dengan gunting, lem, dan kertas. Itu kan kerjaan lulusan SD.