Job hopping, hustle culture, toxic productivity, quiet quitting, and what ever.
Jujur. Saya sebenarnya bingung dengan istilah-istilah di atas. Itu istilah-istilah yang tak ada pada era kerja generasiku, generasi Baby Boomers.Â
Seingatku, tahun 1980-an sampai 1990-an, perilaku pindah-pindah kerja (job hopping) itu belum muncul ke permukaan. Begitupun dengan perilaku kerja tak kenal waktu demi kejar target (hustle culture) dan pemuja produktivitas diri (toxic productivity). Apalagi perilaku kerja pas-pasan (quiet quitting).
Oh, ya. Seingatku tahun 1980-an memang ada anekdot tentang langgam pegawai negeri sipil (PNS). Khususnya PNS pemerintah daerah. Dikatakan begini: Senin upacara bendera, Selasa-Kamis baca koran, Jumat kerja bakti, Sabtu persiapan libur.Â
Perilaku macam itu lazim disebut dengan istilah "malas". Atau dalam analisis ilmu ekonomi disebut sebagai unproductive. Dulu itu saya bilang involusi PNS, terlalu banyak pegawai untuk terlalu sedikit pekerjaan.
Tentang hustle culture dan toxic productivity, saya tak berkomentar panjang. Sikap saya terhadap para pelakonnya: biarkan saja, nanti juga keok sendiri, lalu jadi klien psikolog.
Tapi tentang job hopping dan quiet quitting, saya ingin berbagi pikiran sedikit. Bukan bermaksud menggurui. Tapi semata memberi semacam pengingat (reminder), sebab pada dua istilah itu saya menangkap adanya muatan "tinggi hati".Â
***
Begini. Perilaku job hopping menurut hematku didasari ketidakpuasan. Ada gap antara harapan (ekspektasi) yang terlalu tinggi dan kenyataan (realita) yang terlalu rendah.Â
Apa misalnya? Gaji yang terlalu rendah untuk kualitas kerja yang diberikan. Jabatan yang terlalu rendah untuk kinerja yang bagus. Jenis kerja yang terlalu remeh untuk kualifikasi yang tinggi.