Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Mengajar Ayam Bertelur di Kompasiana

1 September 2022   06:35 Diperbarui: 1 September 2022   07:35 1204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ayam bertelur (Foto shutterstock via kompas.com) 

"Jangan pernah mengajari ayam betina bertelur."

Pernah mendengar nasihat itu? Biasanya diucapkan seseorang jengkel kepada orang-orang yang memberinya nasihat atau saran ini dan itu yang sifatnya text book thinking.  

"Menurut Profesor Poltak ..." Nah, itu frasa pembuka yang menjengkelkan. Beda dengan frasa "Berdasar pengalamanku sendiri ..." Sip, itu pantas disimak.

Paham maksudnya, kan? Kalau kamu belum pernah bertelur, ya, jangan ngajarin ayam bertelurlah. "Sok tau elu, ah," kata ayam nanti. Malu gak sih  kalau sampai dikacangin ayam gitu?

Untuk sebagian, sebagai pensiunan, saya merasakan kejengkelan macam itu saat membaca cepat sejumlah artikel topil dana pensiun di Kompasiana.

Untung pensiunan jembar hatinya. Jengkel, boleh demi kesempurnaan emosi. Tapi gak perlu misuh-misuh. Ntar orang bilang, "Woles ae, Engkong. Awas syaraf-syaraf daluarsamu pada pedot lho." Ah, iya, terimakasih diingatkan.

Alhasil, terhadap para penulis kiat atau tip mempersiapkan pensiun itu saya bilang dalam hati, "Semoga nasibmu kelak sebaik nasihatmu, kelak bila tiba saatnya kamu pensiun."

Kenapa saya berharap begitu?

Karena saya merasa nasihat-nasihat yang disampaikan lewat artikel-artikel ciamik itu, untuk sebagian besar, too good to be true.

Barangkali, ini dugaan saja, saat membaca artikel-artikel itu saya merasa diri sebagai "ayam betina yang sedang diajari cara bertelur" oleh orang-orang yang "belum pernah bertelur".

Maksud saya begini. Suatu nasihat, lisan atau tulisan, mesti bermuatan empati. Empati itu terbangun lewat pengalaman. Pengalaman itu bisa berupa pelakonan langsung, pengamatan atas suatu gejala, ataupun pendalaman atas suatu masalah.

Saya tanya sekarang. Sebesar apa kadar empati terhadap pensiunan yang dibenamkan para penulus ke dalam artikel-artikel kuat pensiun nyaman itu? 

Jujurly, terasakan kadar empatinya tipis banget. Mungkin karena para penulis bukan pensiunan. Bukan pula pengamat pensiunan.  Juga bukan ahli pensiun. Mereka mungkin adalah pembelajar instan yang terprovokasi menulis topil Kompasiana.

Saya soroti satu hal saja: makna pensiun. Kebanyakan penulis memaknainya sebagai "situasi batas". Dari tadinya memiliki status kerja formal, dengan segala kuasa dan previles yang lekat padanya,  menjadi status non-formal atau bahkan informal, tanpa  kuasa dan previles. 

Dengan pemaknaan semacam itu, maka dinasihati agar orang mempersiapkan pensiun dengan baik. Siapkan jiwa, badan, dan dana. Makanya ada MPP (Masa Persiapan Pensiun) dengan pertanyaan pokok "Quo vadis?"

Saya tak heranlah dengan pemaknaan macam itu. Memang ada kekyatan modal yang memaksakan pemaknaan seperti itu. Semisal bank tabungan pensiun, lembaga dana pensiun, lembaga pemberdayaan pensiunan, dan lain-lain.

Pensiunan itu obyek bisnis yang menggiurkan. Iya gak sih?

Nah, itu pemaknaan pensiun yang saya tolak. Bagi saya, sebagai seorang pensiunan, pensiun itu adalah "situasi tanpa batas". Pensiun adalah peluang merdeka melakukan apapun yang kamu mau.  

Dengan pemaknaan seperti itu, maka saya tiba pada prinsip "pensiun tanpa pensiun". Prinsip ini telah memungkinkan saya mengalami dua kali pensiun formal.  Pertama PNS, kedua perusahaan. 

Kini saya sedang menuju pensiun yang ketiga kali. Setelah itu mungkin pensiun yang keempat kali dan seterusnya. 

Begitu terus sampai tiba saatnya pensiun abadi, dipanggil Sang Pencipta. Itu juga bukan jaminan pasti pensiun. Mana tahu di alam sana ditugasi jadi koordinator arwah kompasianer kenthir, kan? Itu rahasia Sang Khalik, ya.

Jadi kalau ada yang bertanya apa pekerjaan saya, jawabnya ya "Pensiun". Disanggah, "Lho, kok masih aktif kerja?" Jawab lagi, "Lha, saya pensiunan aktif kerja." "Ah, bingung, gak ngerti." "Ya, masuk akal, soalnya kamu salah memaknai status pensiun."

Sekarang, mengertikah kamu mengapa saya merasa seperti ayam betina yang diajari cara bertelur oleh para penulis kiat pensiun nyaman, aman, sejahtera itu? Because I did it my way, kawan!

Tetiba saya membayangkan diri sedang mengahari seekor ayam betina bertelur. "Ayo, Yam. Ngeden. Ya, ngeden jangan kenceng. Ntar telurmu melesat macam pelor. Bisa pecah. Ya, boleh berkotek. Tapi jangan keras-keras. Ntar ketahuan Acek Rudy. Bahaya!"

Aih, dasar penulis artikel ini kenthir. (eFTe)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun