Maksud saya begini. Suatu nasihat, lisan atau tulisan, mesti bermuatan empati. Empati itu terbangun lewat pengalaman. Pengalaman itu bisa berupa pelakonan langsung, pengamatan atas suatu gejala, ataupun pendalaman atas suatu masalah.
Saya tanya sekarang. Sebesar apa kadar empati terhadap pensiunan yang dibenamkan para penulus ke dalam artikel-artikel kuat pensiun nyaman itu?Â
Jujurly, terasakan kadar empatinya tipis banget. Mungkin karena para penulis bukan pensiunan. Bukan pula pengamat pensiunan. Â Juga bukan ahli pensiun. Mereka mungkin adalah pembelajar instan yang terprovokasi menulis topil Kompasiana.
Saya soroti satu hal saja: makna pensiun. Kebanyakan penulis memaknainya sebagai "situasi batas". Dari tadinya memiliki status kerja formal, dengan segala kuasa dan previles yang lekat padanya,  menjadi status non-formal atau bahkan informal, tanpa  kuasa dan previles.Â
Dengan pemaknaan semacam itu, maka dinasihati agar orang mempersiapkan pensiun dengan baik. Siapkan jiwa, badan, dan dana. Makanya ada MPP (Masa Persiapan Pensiun) dengan pertanyaan pokok "Quo vadis?"
Saya tak heranlah dengan pemaknaan macam itu. Memang ada kekyatan modal yang memaksakan pemaknaan seperti itu. Semisal bank tabungan pensiun, lembaga dana pensiun, lembaga pemberdayaan pensiunan, dan lain-lain.
Pensiunan itu obyek bisnis yang menggiurkan. Iya gak sih?
Nah, itu pemaknaan pensiun yang saya tolak. Bagi saya, sebagai seorang pensiunan, pensiun itu adalah "situasi tanpa batas". Pensiun adalah peluang merdeka melakukan apapun yang kamu mau. Â
Dengan pemaknaan seperti itu, maka saya tiba pada prinsip "pensiun tanpa pensiun". Prinsip ini telah memungkinkan saya mengalami dua kali pensiun formal. Â Pertama PNS, kedua perusahaan.Â
Kini saya sedang menuju pensiun yang ketiga kali. Setelah itu mungkin pensiun yang keempat kali dan seterusnya.Â
Begitu terus sampai tiba saatnya pensiun abadi, dipanggil Sang Pencipta. Itu juga bukan jaminan pasti pensiun. Mana tahu di alam sana ditugasi jadi koordinator arwah kompasianer kenthir, kan? Itu rahasia Sang Khalik, ya.