Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perempuan Jakarta yang Baik Hati di Kereta Malam Jayabaya

24 Agustus 2022   15:14 Diperbarui: 24 Agustus 2022   20:19 878
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kereta api malam (Foto: Kompas.com/Ni Luh Made Pertiwi F.)

Kebaikan itu datang tanpa diminta. Kalau diminta, itu bukan kebaikan. Tapi pemberian. Dan tak ada pemberian tanoa pamrih. 

Tiurma, anak gadis Poltak, tadi malam mengalami kebaikan semacam itu. Dia dalam perjalanan pulang naik kereta api malam Jayabaya. Sendirian. Dari Malang ke Jakarta. Itu pengalaman pertama baginya sendirian.

Jayabaya itu kereta lintas jalur Pantura Jawa. Berangkat dari Stasiun Lawang, Malang  Selasa 23 Agustus 2022 pukul 12.14 WIB, via Surabaya. Dijadwalkan tiba di Stasiun Senen Jakarta Rabu esoknya pukul 01.25 WIB.

Sudah pasti orang yang paling cemas dan, karena itu, paling reseh soal perjalanan mandiri pertama Tiurma adalah Berta, istri tunggal Poltak.

Kecemasannya sempat menjadi kepanikan. Lantaran Tiurma mewarisi kekenthiran ayahnya. Lewat WAG keluarga dia mengirim pesan telah ketinggalan kereta. Lantaran tertidur di ruang tunggu Stasiun Lawang, Malang. 

Hal yang tak logis. Karena Tiurma tiba di stasiun 30 menit sebelum kereta tiba. Tapi Berta, ibunya sempat panik kena prank seperti itu.

Manifestasi kecemasan Berta, dan sebenarnya juga Poltak yang sok cool, adalah pesan WA tiap jam. "Sudah di mana?"  "Siapa yang duduk di sampingmu?"

Dijawab, "Ibu-ibu."

Diingatkan, "Waspada pada tetangga duduk di kereta. Biarpun ibu-ibu. Jangan dipercaya."  

"Sudah makan malam?" "Hati-hati barang bawaan." "Share loc, ya?" 

"Istirahat, ya." "Awas, jangan ketiduran." Lho, gimana,sih? Disuruh istirahat tapi dilarang ketiduran.

"Jangan sampai kelewatan Stasiun Senen, ya." Lha, Stasiun Senen kan perhentian terakhir.

Yah, begitulah. Namanya juga orangtua cemas melepas anak belajar mandiri jalan malam. Kalau kamu tak cemas, berarti kamu dari bilangan yang terbiasa meliarkan anak di malam hari.

Tepat pukul 00.00 WIB -- itu tengah malam, lho -- Poltak dan Berta berangkat dari Gang Sapi menuju Stasiun Senen Jakarta.  Hujan rintik-rintik membasahi Jakarta.  Jalanan lancar tanpa macet sedetik pun.  

"Kita layak berterimakasih kepada Pak Anies atas jalan yang bebas kemacetan ini," kata Poltak pada istrinya. Iyalah, hal baik harus disyukuri.

"Jangan ngebut. Jalanan terlalu lancar. Nanti terlalu cepat kita tiba di Stasiun Senen," kata Berta.

Mobil sudah dipacu selambat mungkin tapi Poltak dan Berta masih terlalu cepat tiba di Stasiun Senen.  Mobil masuk parkiran stasiun tepat pukul 00.45 WIB. Masih harus menunggu 45 menit lagi.

Tiurma sudah share loc sejak dari Cikarang. Berta dan Poltak sibuk memantau pergerakan kereta api Jayabaya. Di handphone masing-masing, tentu saja.

"Ini kereta jalannya kok lelet, ya," protes Berta.

"Gak, apa-apalah. Yang penting dia masih di atas rel," kata Poltak tak menjawab protes. Sebab protes tak perlu dijawab. 

Tepat pukul 01.35 WIB alarm perlintasan kereta berbunyi.  Kereta malam Jayabaya telah tiba. Berhenti di Stasiun Senen tepat pukul 01.40 WIB. Telat 15 menit.  Mungkin karena meraba-raba jalan di gelap malam.

Poltak keluar dari mobil menjemput Tiurma ke pintu kedatangan.  Dari jarak sekitar 20 meter dia melihat anak gadisnya keluar sambil berbincang dengan seorang perempuan paruh baya. 

"Kamu tadi ngobrol dengan siapa, Nak?" tanya Poltak setelah bersua Tiurma.

"On, itu ibu-ibu tetangga duduk di kereta, Ayah."

"Ngomong apa?"

"Dia memastikan apakah Ayah sudah tiba di stasiun atau belum."

"Dia kenal Ayah?"

"Tidak. Tapi kalau misalnya Ayah belum tiba, dia mau menemani aku di ruang tunggu sampai Ayah tiba."

"Oh, baik sekali."

Poltak tercenung.  Juga Berta, saat hal itu diceritakan kepadanya. Twringat dia sempat berburuk sangka pada tetangga duduk Tiurma.

Ternyata Tuhan mengirimkan seorang malaikat. Dalam rupa seorang perempuan Jakarta yang baik hati. Dia menjaga Tiurma dalam perjalanan kereta malam dari Malang sampai Jakarta.

Kecemasan Berta dan Poltak adalah doa. Didengar oleh Tuhan. Dikabulkan dengan cara-Nya sendiri. Hingga Tiurma, anak gadis mereka, kini sudah kembali ke pelukan kedduanya dengan selamat.

"Tadi sudah bilang terimakasih pada ibu itu?" tanya Berta.

"Sudah, Ibu."

"Dia seorang perempuan sejati. Seseorang yang memiliki naluri melindungi dan memelihara anak. Walau itu bukan anak sendiri." Poltak membatin. 

Itu namanya empati sosial. Wujud kekayaan sosial pada seorang individu.

Perempuan di kereta malam Jayabaya itu adalah permata yang bersinar di gelap kota Jakarta. Kota yang menderita kemiskinan sosial. Defisit empati sosial dalam masyarakatnya yang individualistik.

Di tengah Jakarta yang defisit empati sosial itu, ada terselip "orang Samaria yang baik hati". Ah, Tuhan selalu memberi harapan yang pasti. (eFTe)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun