Beredar pendapat bahwa kejanggalan kematian Brigadir Joshua Hutabarat terungkap berkat pelaksanaan adat Batak Toba untuk almarhum oleh keluarganya. Â
Sekurangnya ada dua pendapat.  Pertama, disebutkan  bahwa kewajiban adat untuk mengenakan ulos saput (pakaian ke alam baka) mengharuskan keluarga untuk membuka peti mati.  Karena itu keluarga melihat luka-luka yang janggal, bukan hanya luka tembak, di tubuh Brigadir J.  Ini pendapat dari pengacara keluarga Brigadir J.
Kedua, menolak pendapat pertama, dikatakan bahwa Brigadir J itu tergolong mate ponggol, meninggal saat masih lajang, sehingga secara adat tidak mendapat ulos saput.  Adat andung,  nyanyian ratapan kematianlah yang diyakini membuka kejanggalan kematian Brigadir J.  Pandangan ini disampaikan oleh antara lain Saut Poltak Tambunan, seorang budayawan dan sastrawan Batak Toba. Pendapat itu diamini juga oleh kompasianer David F. Silalahi ("Mangandung, Kunci Runtuhnya Tembok Dusta Duren Tiga", kompasiana.com, 18/8/2022).
Benarkah demikian? Â Saya akan coba bahas satu per satu. Â Ringkas saja.
Adat Ulos Saput
Pemberian ulos saput merupakan adat kematian dalam masyarakat Batak Toba. Adat itu berlaku untuk semua jenis kematian. Termasuk pada jenis mate dakdanak, kematian anak kecil (di bawah 10 tahun) dan jenis mate ponggol seperti pada kasus Brigadir J.Â
Tapi memang ada perbedaan makna dalam pemberian ulos bagi orang mati dalam masyarakat Batak. Ulos saput adalah penyebutan yang lazim untuk ulos yang ditutupkan pada jenazah seseorang yang meninggal dengan status sudah berkeluarga. Disebut saput, pakaian, karena seseorang yang meninggal dunia harus berpakaian yang pantas untuk pergi ke alam baka. Tanpa ulos saput, berarti almarhum tergolong pulangsae, telanjang, dan itu dinilai tidak beradat.
Agar lebih jelas, berikut adalah contoh pemberian ulos saput dalam adat kematian Batak Toba (Youtube Jabat Parna):
Untuk anak kecil dan remaja/pemuda (lajang), ulos saput itu dimaknai berbeda.  Untuk anak kecil dimaknai sebagai lampin, kain bedongan untuk anak kecil.  Sedangkan untuk remaja/pemuda ulos saput dimaknai sebagai lage-lage, tikar untuk tidur.
Ulos lampin, lage-lage, atau saput itu dikenakan dengan cara menyelimutkannya ke atas tubuh almarhum.  Untuk anak kecil dan remaja/pemuda, ulos itu bisa diberikan (diselimutkan) oleh orangtuanya atau tulangnya (paman).  Ini berlaku umum, di desa maupun di kota, di Tanah Batak maupun di tanah rantau.
Cara pemberian ulos saput atau lage-lage untuk Brigadir J jelas memungkinkan keluarga untuk melihat langsung jasad Brigadir J.  Karena peti mati harus dibuka agar ulos bisa diselimutkan ke atas tubuh Brigadir J.
Jadi adat kematian berupa pemberian ulos saput memang bisa saja menjadi kesempatan bagi keluarga Brigadir J untuk melihat langsung kondisi jenazah Brigadir J.
Adat Andung
Andung dalam kematian orang Batak bisa dikatakan sebagai adat apabila dilakukan oleh seorang pangandung, seniman lagu ratapan kematian khas Batak Toba. Â Mangandung berarti mengisahkan riwayat kehidupan dan segala kebaikan almarhum semasa hidupnya serta mengekspresikan kesedihan atas kepergiannya.
 Andung memiliki alunan suara atau irama lagu ratapan yang khas Batak Toba.  Kosa kata yang digunakan juga khusus,  disebut rangsa ni andung, kosa kata andung.  Misalnya, simanjujung untuk ulu, kepala; silumallan untuk mual, air; silomlom i robean untuk lombu, lembu; sinuan beu untuk gelleng, anak; sipareon untuk pinggol, kuping.
Adat andung lazim berlaku jika almarhum adalah seseorang yang sudah berkeluarga. Â Dengan demikian sudah ada riwayat hidupnya yang dapat dikisahkan. Â Terlebih jika almarhum sudah tua, misalnya masuk kategori saur matua, meninggal ketika semua anaknya sudah menikah dan memberikan cucu.
Untuk mendapat gambaran, berikut ini adalah contoh seni andung yang diperlombakan (Youtube Yayasan TB Silalahi Center):
Jika almarhum adalah anak kecil atau remaja/pemuda maka hampir pasti tidak ada adat andung. Â Karena tidak ada riwayat hidup panjang yang dapat dikisahkan. Â Hanya ada tangis kesedihan karena kehilangan dari anggota keluarga, kerabat, dan tetanga. Â Istilah untuk itu adalah angguk, tangisan kesedihan. Â Sering disebut juga mangangguk bobar, semacam "nangis bombay".
Untuk kasus kematian Brigadir J, hampir bisa dipastikan tidak ada adat andung. Â Tapi pasti ada angguk, tangisan kesedihan dari orangtua dan anggota keluarga. Â Itu jamak untuk kasus mati muda, apalagi bersifat mendadak, tak disangka-sangka.
Untuk mangandung atau mangangguk tidak ada keharusan bahwa  jenazah almarhum harus terbuka atau terlihat mata.  Walau sebaiknya memang begitu.  Lazim juga orang Batak mangandung atau mangangguk di pusara almarhum.
Penting pula dicatat, adat andung sejatinya sudah nyaris hilang dari budaya Batak Toba. Â Ajaran agama Kristen termasuk salah satu faktor penyebabnya. Andung dianggap sebagai bagian dari tradisi paganisme Batak.
Kini sudah sangat sulit menemukan orang yang menguasai seni andung. Bahkan di Tanah Batak sana, apalagi di tanah rantau.
Jadi hampir bisa dipastikan pengungkapan kejanggalan pada kematian Brigadir J tidak ada kaitannya dengan adat andung atau mangandung.
Waspada Jebakan Etnosentrisme
Sampai di sini bisa dikatakan bukan adat andung, melainkan adat ulos saput dalam arti lage-lagelah yang memungkinkan anggota keluarga melihat kejanggalan pada jenazah Brigadir J. Sebab ulos saput mempersyaratkan pembukaan peti mati, sedangkan andung tidak. Tambahan lagi adat andung hampir bisa dipastikan tidak dilakukan pada kasus kematian Brigadir J. Â
Tapi benarkah pelaksanaan adat ulos saput (lage-lage) yang membuka kejanggalan luka-luka pada tubuh almarhum Brigadir J?
Pengacara keluarga Brigadir J telah mengungkapkan bahwa pelaksanaan suntikan formalinlah yang menjadi alasan pembukaan peti mati Brigadir J. Penyuntikan formalin itu mengharuskan penyingkapan pakaian Brigafir J. Hal itulah yang menyebabkan tampaknya luka-luka tembak dan luka-luka lain pada tubuh Brigadir J. Seorang anggota keluarga kemudian secara cerdik mendokumentasikan luka-luka itu dengan kamera ponsel.Â
Penjelasan di atas, proses penyuntikan formalin, lebih masuk akal sebagai moda pengungkapan kejanggalan luka-luka Brigadir J, ketimbang alasan pemberian ulos saput. Mungkin ada koinsidensi antara dua kegiatan itu, tapi penyuntikan formalinlah moda utama.
Apa yang hendak dikatakan di sini, sebaiknya tidak mengait-ngaitkan adat Batak Toba dengan kasus kematian atau pembunuhan Brigadir J. Juga sebaiknya tidak perlu membawa-bawa atribut kebatakan, seperti misalnya pakaian adat Batak yang pernah dikenakan pengacara Brigadir J saat memberi keterangan.
Pengaitan adat dan atau atribut kebatakan semacam itu dapat menjadi jebakan etnosentrisme. Orang lalu menafsir kematian Brigadir J dari sisi hukum adat dan budaya Batak -- konteks nasionalisme etnik. Cara itu dapat berujung pada kesimpulan sesat, menyimpang dari hukum positif dan semangat nasionalisme yang seharusnya menjadi acuan.
Jadi, agar tidak menimbulkan sentimen-sentimen etnis, baiklah jika kasus kematian Brigadir J tidak terdistorsi oleh sikap etnosentris. Tetaplah mengusut kasus itu dalam konteks hukum positif negara dan keindonesiaan. (eFTe)
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H