Penting pula dicatat, adat andung sejatinya sudah nyaris hilang dari budaya Batak Toba. Â Ajaran agama Kristen termasuk salah satu faktor penyebabnya. Andung dianggap sebagai bagian dari tradisi paganisme Batak.
Kini sudah sangat sulit menemukan orang yang menguasai seni andung. Bahkan di Tanah Batak sana, apalagi di tanah rantau.
Jadi hampir bisa dipastikan pengungkapan kejanggalan pada kematian Brigadir J tidak ada kaitannya dengan adat andung atau mangandung.
Waspada Jebakan Etnosentrisme
Sampai di sini bisa dikatakan bukan adat andung, melainkan adat ulos saput dalam arti lage-lagelah yang memungkinkan anggota keluarga melihat kejanggalan pada jenazah Brigadir J. Sebab ulos saput mempersyaratkan pembukaan peti mati, sedangkan andung tidak. Tambahan lagi adat andung hampir bisa dipastikan tidak dilakukan pada kasus kematian Brigadir J. Â
Tapi benarkah pelaksanaan adat ulos saput (lage-lage) yang membuka kejanggalan luka-luka pada tubuh almarhum Brigadir J?
Pengacara keluarga Brigadir J telah mengungkapkan bahwa pelaksanaan suntikan formalinlah yang menjadi alasan pembukaan peti mati Brigadir J. Penyuntikan formalin itu mengharuskan penyingkapan pakaian Brigafir J. Hal itulah yang menyebabkan tampaknya luka-luka tembak dan luka-luka lain pada tubuh Brigadir J. Seorang anggota keluarga kemudian secara cerdik mendokumentasikan luka-luka itu dengan kamera ponsel.Â
Penjelasan di atas, proses penyuntikan formalin, lebih masuk akal sebagai moda pengungkapan kejanggalan luka-luka Brigadir J, ketimbang alasan pemberian ulos saput. Mungkin ada koinsidensi antara dua kegiatan itu, tapi penyuntikan formalinlah moda utama.
Apa yang hendak dikatakan di sini, sebaiknya tidak mengait-ngaitkan adat Batak Toba dengan kasus kematian atau pembunuhan Brigadir J. Juga sebaiknya tidak perlu membawa-bawa atribut kebatakan, seperti misalnya pakaian adat Batak yang pernah dikenakan pengacara Brigadir J saat memberi keterangan.
Pengaitan adat dan atau atribut kebatakan semacam itu dapat menjadi jebakan etnosentrisme. Orang lalu menafsir kematian Brigadir J dari sisi hukum adat dan budaya Batak -- konteks nasionalisme etnik. Cara itu dapat berujung pada kesimpulan sesat, menyimpang dari hukum positif dan semangat nasionalisme yang seharusnya menjadi acuan.
Jadi, agar tidak menimbulkan sentimen-sentimen etnis, baiklah jika kasus kematian Brigadir J tidak terdistorsi oleh sikap etnosentris. Tetaplah mengusut kasus itu dalam konteks hukum positif negara dan keindonesiaan. (eFTe)