***
Mungkin rekan-rekan milenial bertanya-tanya apa itu "Tragedi Bintaro 1987". Â Saya coba ceritakan secara ringkas berdasar berbagai sumber. Â Urutan kejadiannya sebagai berikut:
- Pagi Senin 19 Oktober 1987. Â Kepala Stasiun Serpong memberangkatkan KA 225 jurusan Rangkasbitung-Jakarta Kota ke Stasiun Sudimara. Pukul 06.45 WIB, KA 225 tiba di Stasiun Sudimara. Â Dua dari tiga jalur di stasiun itu langsung penuh -- satu jalur lagi rusak.
- PPKA Stasiun Kebayoran memberangkatkan KA 220 Patas Jurusan Jakarta Kota-Merak ke Stasiun Sudimara.  KA 2020 Patas itu direncanakan bersilang dengan  KA 225 di Stasiun Sudimara.Â
- PPKA  Stasiun Sudimara  memerintahkan juru langsir untuk melangsir KA 225 ke jalur 3 tapi masinis KA 225 tidak melihat adanya semboyan 46 (langsir). Karena itu masinis membunyikan Semboyan 35 (kereta siap berangkat) dan KA 225 melaju ke Stasiun Kebayoran.
- Para petugas Stasiun Sudimara  panik karena  KA 220 sedang melaju dari arah Kebayoran pada satu jalur yang sama. Juru langsir mengejar KA 225 dan naik di gerbong paling belakang. PPKA Sudimara menghentikan kereta dengan cara  menggerak-gerakkan sinyal,  mengejar kereta sambil mengibarkan bendera merah, dan membunyikan semboyan genta darurat kepada penjaga perlintasan Pondok Betung. Semuanya gagal.Â
- Sama-sama sarat penumpang sampai ke lokomotif dan atap gerbong, KA 225 berjalan dengan kecepatan 25km/jam sedangkan KA 220 berjalan dengan kecepatan 30km/jam. Tak terhindarkan, Â kedua kereta api yang sarat penumpang sampai ke lokotif dan atap gerbong itu tabrakan adu banteng di daerah Bintaro, tak jauh dari TPU Tanah Kusir. Â
Tragedi Bintaro 1987 itu tercatat sebagai salah satu kecelakaan terburuk dalam sejarah transportasi di Indonesia. Â Tercatat 139 orang penumpang tewas: 113 orang teridentifikasi, 26 orang tak teridentifikasi. Â Sebanyak 254 orang penumpang terluka: 170 orang dirawat di rumah sakit, 84 orang luka ringan.
Penyelidikan atas tragedi itu kemudian menemukan kelalaian petugas Stasiun Sudimara. Petugas memberi sinyal aman untuk KA 225. Padahal tak ada pernyataan aman dari Stasiun Kebayoran. Keputusan itu diambil karena tidak ada jalur kosong di Stasiun Sudimara.Â
***
Duapuluh enam korban Tragedi Bintaro 1987 yang tak teridentifikasi itu dimakamkan secara massal di Kampung Kandang. Kondisi tubuh mereka tidak utuh lagi, sehingga dimakamkan dalam satu luang besar. Setelah ditimbun, di atas areal liang makam itu kemudian dibuat gundukan-gundukan menyerupai makam-makam yang berjejer rapi.
Makam massal itu tanpa nisan. Hanya ada plang nama untuk blok itu, seperti disebut tadi. Namun pernah ada tiga gundukan "makam" yang diberi nisan oleh keluarga yang ziarah. Hanya sebagai penanda saja. Bahwa di situ ada anggota keluarga mereka yang dimakamkan, walau tak dikenali.
Kondisi terakhir, makam korban Tragedi Bintaro 1987 itu telah dirapikan. Tiap gundukan diberi nisan polos, terbuat dari pal beton. Â Tampak lebih rapi dan terurus. Setelah tahun-tahun sebelumnya cenderung terabaikan. Â
Bagi keluarga yang ditinggalkan, korban-korban tak dikenali itu telah pergi tanpa pesan terakhir. Keluarganya hanya ingat, mungkin, salim atau senyum terakhir mereka saat pamit untuk menjemput harapan naik kereta  KA 220 atau KA  225.
Tapi tidak untuk pemerintah, khususnya Departemen Perhubungan dan BUMN PT KAI (dulu PJKA). Korban-korban tak dikenal itu, serta para korban yang dikenali, telah mengirim pesan yang tegas: sistem perkereta-apian harus direvolusi. Demi keselamatan dan kenyamanan penumpang dan peningkatan aktivitas ekonomi rakyat.