Suatu hari 14 tahun lalu, di pintu keluar parkiran Blok M Jakarta, seorang juru parkir (jukir) setengah berteriak takjub. Â "Wah, nomor polisi mobil Bapak bagus. Â Satu sembilan satu kosong. Â Itu tanggal tragedi Bintaro tahun 1987."
Luar biasa memori Bang Jukir itu. Atau luar biasa dahsyat Tragedi Bintaro 1987, sehingga seorang jukir pun ingat persis tanggal kejadiannya.
Tapi, "Bagus? Apa bagusnya tanggal tragedi?" kataku dalam hati, sambil tersenyum kecut pada Bang Jukir itu.
Dua tahun kemudian, saya ganti mobil baru dengan cara kredit tukar tambah murah. Nomor 1910 itupun pergi dari hidupku.
Sebenarnya sepanjang berkendara dengan mobil bernomor 1910 itu, saya dan keluarga aman-aman saja. Â Tak ada peristiwa buruk yang kami alami, entah itu kecelakaan atau kesialan. Hanya roda-rodanya saja yang kena paku. Â Harap maklum, kami melintas di jalanan Jakarta.
Hanya saja, setiap kali melihat atau ingat angka 19.10 itu, pikiran saya langsung melayang pada tragedi Bintaro 1987, peristiwa tabrakan adu banteng antara dua kereta api penumpang di jalur antara Stasiun Sudimara dan Stasiun Kebayoran. Tabrakan dahsyat itu memakan  korban jiwa 139 orang -- ada juga yang menyebut 156 orang. Jumlah terbesar sampai saat ini dalam sejarah perkeretapian di Indonesia.Â
Pikiran tentang tragedi itu, tentang terenggutnya 139 nyawa yang sedang mengejar harapan di pagi hari, mengganggu saya secara psikologis. Sampai kemudian mobil bernomor polisi 1910 itu pindah tangan.
Tapi ketenangan itu tak berlangsung lama. Â Enam tahun lalu angka 1910 itu menyapa saya lagi. Â Kali ini berupa sebuah plang pengingat di TPU Kampung Kandang Jagakarsa Jakarta Selatan. Â Hal itu terjadi karena ada anggota keluarga yang dimakamkan di situ.
Ternyata sejumlah korban yang tak teridentifikasi dari Tragedi Bintaro 1987 itu dimakamkan secara massal sebagai "orang-orang tanpa identitas pribadi" di Kampung Kandang. Â Sekaligus itulah awal pembukaan TPU Kampung Kandang menurut riwayatnya.
Alhasil, karena melakukan ziarah mingguan, otomatis saya berurusan lagi dengan angka 1910 itu setiap minggu. Tertulis pada plang pengingat itu "MAKAM TRAGEDI BINTARO TGL. 19 oktober 1987" (ejaaannya persis seperti itu).
***
Mungkin rekan-rekan milenial bertanya-tanya apa itu "Tragedi Bintaro 1987". Â Saya coba ceritakan secara ringkas berdasar berbagai sumber. Â Urutan kejadiannya sebagai berikut:
- Pagi Senin 19 Oktober 1987. Â Kepala Stasiun Serpong memberangkatkan KA 225 jurusan Rangkasbitung-Jakarta Kota ke Stasiun Sudimara. Pukul 06.45 WIB, KA 225 tiba di Stasiun Sudimara. Â Dua dari tiga jalur di stasiun itu langsung penuh -- satu jalur lagi rusak.
- PPKA Stasiun Kebayoran memberangkatkan KA 220 Patas Jurusan Jakarta Kota-Merak ke Stasiun Sudimara.  KA 2020 Patas itu direncanakan bersilang dengan  KA 225 di Stasiun Sudimara.Â
- PPKA  Stasiun Sudimara  memerintahkan juru langsir untuk melangsir KA 225 ke jalur 3 tapi masinis KA 225 tidak melihat adanya semboyan 46 (langsir). Karena itu masinis membunyikan Semboyan 35 (kereta siap berangkat) dan KA 225 melaju ke Stasiun Kebayoran.
- Para petugas Stasiun Sudimara  panik karena  KA 220 sedang melaju dari arah Kebayoran pada satu jalur yang sama. Juru langsir mengejar KA 225 dan naik di gerbong paling belakang. PPKA Sudimara menghentikan kereta dengan cara  menggerak-gerakkan sinyal,  mengejar kereta sambil mengibarkan bendera merah, dan membunyikan semboyan genta darurat kepada penjaga perlintasan Pondok Betung. Semuanya gagal.Â
- Sama-sama sarat penumpang sampai ke lokomotif dan atap gerbong, KA 225 berjalan dengan kecepatan 25km/jam sedangkan KA 220 berjalan dengan kecepatan 30km/jam. Tak terhindarkan, Â kedua kereta api yang sarat penumpang sampai ke lokotif dan atap gerbong itu tabrakan adu banteng di daerah Bintaro, tak jauh dari TPU Tanah Kusir. Â
Tragedi Bintaro 1987 itu tercatat sebagai salah satu kecelakaan terburuk dalam sejarah transportasi di Indonesia. Â Tercatat 139 orang penumpang tewas: 113 orang teridentifikasi, 26 orang tak teridentifikasi. Â Sebanyak 254 orang penumpang terluka: 170 orang dirawat di rumah sakit, 84 orang luka ringan.
Penyelidikan atas tragedi itu kemudian menemukan kelalaian petugas Stasiun Sudimara. Petugas memberi sinyal aman untuk KA 225. Padahal tak ada pernyataan aman dari Stasiun Kebayoran. Keputusan itu diambil karena tidak ada jalur kosong di Stasiun Sudimara.Â
***
Duapuluh enam korban Tragedi Bintaro 1987 yang tak teridentifikasi itu dimakamkan secara massal di Kampung Kandang. Kondisi tubuh mereka tidak utuh lagi, sehingga dimakamkan dalam satu luang besar. Setelah ditimbun, di atas areal liang makam itu kemudian dibuat gundukan-gundukan menyerupai makam-makam yang berjejer rapi.
Makam massal itu tanpa nisan. Hanya ada plang nama untuk blok itu, seperti disebut tadi. Namun pernah ada tiga gundukan "makam" yang diberi nisan oleh keluarga yang ziarah. Hanya sebagai penanda saja. Bahwa di situ ada anggota keluarga mereka yang dimakamkan, walau tak dikenali.
Kondisi terakhir, makam korban Tragedi Bintaro 1987 itu telah dirapikan. Tiap gundukan diberi nisan polos, terbuat dari pal beton. Â Tampak lebih rapi dan terurus. Setelah tahun-tahun sebelumnya cenderung terabaikan. Â
Bagi keluarga yang ditinggalkan, korban-korban tak dikenali itu telah pergi tanpa pesan terakhir. Keluarganya hanya ingat, mungkin, salim atau senyum terakhir mereka saat pamit untuk menjemput harapan naik kereta  KA 220 atau KA  225.
Tapi tidak untuk pemerintah, khususnya Departemen Perhubungan dan BUMN PT KAI (dulu PJKA). Korban-korban tak dikenal itu, serta para korban yang dikenali, telah mengirim pesan yang tegas: sistem perkereta-apian harus direvolusi. Demi keselamatan dan kenyamanan penumpang dan peningkatan aktivitas ekonomi rakyat.
Pesan dari para korban Tragedi Bintaro 1987 itulah yang antara lain telah mendasari modernisasi perkereta-apian Jabodetabek masa kini, yaitu:
- Realisasi pembangunan rel ganda untuk jaringan perkereta-apian se-Jabodetabek.
- Realisasi sistem KRL commuter line untuk jaringan perkereta-apian se-Jabodetabek.
- Pengantian seluruh unit kereta api lama dengan unit kereta api baru atau hibah dari Jepang.
- Penerapan sistem tiket elektronik untuk memastikan semua penumpang KRL membayar tiket.
- Pelarangan kegiatan ekonomi informal di kereta api, antara lain mengasong, mengamen, dan mengemis.
Saat beberapa hari lalu melintas di tepi blok pemakaman korban Tragedi Bintaro 1987 itu, terbersit tanya dalam benak, "Bukankah mereka ini sejatinya pahlawan tak dikenal dalam perjuangan pembangunan perkereta-apian nasional?"
Mereka dulu bukan sekedar obyek penumpang bagi bisnis perkereta-apian Jabodetabek yang lazim merugi. Mereka, pada status dan perannya sebagai penumpang, adalah subyek pembangunan perkereta-apian nasional. Penumpang yang setia sampai mati.
Sebab, adakah pembangunan perkereta-apian di dunia ini yang dapat berjalan tanpa peranserta aktif penumpang?
Tapi, pebila para korban Tragedi Bintaro 1987 yang tak dikenal itu adalah pahlawan pembangunan perkereta-apian, Â lantas mengapa PT KAI melupakan mereka?
Saya membayangkan, dalam rangka 77 tahun Indonesia Merdeka, Direksi PT KAI datang ziarah ke Kampung Kandang, Â tabur bunga di makam korban Tragedi Bintaro 1987 pada tanggal 17 Agustus 2022 ini.
Tapi, ah sudahlah, itu mungkin hanya mimpi siang bolong di kuburan. (eFTe)
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H