Bulan Mei telah tiba di Panatapan.  Warga Panatapan memasuki masa  haleon, paceklik. Panen padi sawah paling cepat baru di bulan Juni. Tanam padi di Panatapan hanya sekali setahun.Â
Persediaan gabah di lumbung warga mulai menipis. Terlebih jika panen tahun sebelumnya kurang bagus.  Entah itu  karena serangan satua, tikus, atau sebab lain.
Gabah di lumbung nenek Poltak juga sudah mulai menipis. Sebenarnya masih cukup sampai panen tiba sebulan lagi. Â Tapi nenek Poltak tidak mau ambil risiko. Â Riskan bila perlu uang tunai mendadak.
Gabah di lumbung adalah sumber uang tunai tercepat bagi Panatapan. Â Perlu uang banyak secara cepat, ya, jual gabah ke toke beras.Â
Sebenarnya ada ternak babi. Â Tapi belum tentu cukup umur untuk dijual.
"Kita ke kampung ompungmu di Hutabayu lusa." Â Nenek Poltak mengambil keputusan.
"Ke kampung Ompung Purbatua?" Poltak menegaskan. Â Dia menyebut kakeknya itu menurut nama anak sulungnya. "Hari Sabtu, ompung?"
"Iya, Sabtu. Sepulang sekolah. Minta izinlah pada Guru Arsenius. Senin depan kamu tidak masuk sekolah."
"Olo, Ompung."
Ompung Purbatua itu adik kandung nenek Poltak. Dia dan keluarga intinya bermukim di Hutabayu, Tanah Jawa Simalungun.Â
Ompung Purbatua dulu pindah dari Hutabolon ke Hutabayu. Â Dia mendapat amanah untuk mengelola dan menjaga tanah sawah warisan ayah mereka.
Ayah mereka dahulu mendapat sawah itu sebagai warisan bapaknya -- kakek dari nenek Poltak dan Ompung Purbatua. Â Sewaktu nenek Poltak menikah dengan kakek Poltak, sebidang dari areal sawah itu diberikan kepadanya sebagai pauseang.
Pauseang itu modal hidup pemberian orangtua untuk anak perempuan yang sudah berumahtangga. Â
Nilai pauseang adalah cermin martabat istri. Semakin besar nilainya, semakin tinggi martabatnya. Sebaliknya juga berlaku.
Keberadaan leluhur nenek Poltak di Hutabayu, Tanah Jawa adalah hasil sejarah panjang. Diawali dengan perintisan sekelompok orang Batak bermarga Sinaga dari Urat, pantai barat Samosir ke daerah baru di seberang timur laut pulau itu.Â
Urat adalah pusat salah satu kerajaan Batak tua. Rajanya, bergelar Paltiraja, adalah dinasti bermarga Sinaga.
Perantauan kelompok Sinaga itu terjadi sejak dahulu kala. Jauh sebelum masa penjajahan Belanda. Â
Mula-mula mereka menduduki daerah kosong yang dinamai Girsang Sipanganbolon. Ke dalamnya  termasuk Sibaganding, Parapat, dan tentu saja Hutabolon.
Dari situ mereka bergerak maju lagi ke arah timur laut. Â Ke daerah Dolok Panribuan, Jorlang Hataran, dan Hatonduhan. Â Lalu masuk lebih dalam lagi ke Tano Jawa, Hutabayuraja, dan Bosar Maligas. Secara keseluruhan wilayah itu dinamai Tanah Jawa.Â
Tanah Jawa kemudian menjadi satu kerajaan sendiri di wilayah Simalungun. Â Secara turun-temurun sampai tahun 1946 rajanya berasal dari garis darah marga Sinaga.
Ayah dari nenek Poltak dulu tinggal di Hutabayu, Tanah Jawa. Â Dia kemudian pindah ke Hutabolon, karena menikah dengan seorang gadis marga pendatang di situ.Â
"Ompung Purbatua baru panen di sana. Kita ke sana untuk mengambil hasil sawah pauseang ompung."
Para petani di Tanah Jawa tanam padi dua kali setahun. Â Mereka menanam padi Peta Baru 8, jenis padi unggul baru berumur pendek. Hasilnya tinggi. Tapi rentan serangan hama wereng.
"Luaskah sawah pauseang ompung?"
"Tak seberapa. Tapi ompung sudah enam kali panen tidak ambil hasilnya."
"Kita akan bawa gabah dari sana, Ompung?"
"Tidaklah. Kita jual saja."
Perjalanan dar Panatapan ke Hutabayu makan waktu sekitar tiga jam. Dari Panatapan ke Siantar sekitar satu jam. Menunggu bus jurusan Tanah Jawa ngetem di Terminal Parluasan Siantar satu jam. Â Lalu perjalanan ke Hutabayu, di timur Siantar, sekitar satu jam.
Matahari sudah condong ke barat saat Poltak dann neneknya tiba di Tanah Jawa.
"Kenapa tempat ini dinamai Tanah Jawa, Ompung." Poltak bertanya. Dia bersama ompungnya menapaki jalan tanah menuju kampung Ompung Purbatua.
"Orang Toba dulu menyebut tempat ini tano jau. Lama- lama disebut tana jawa."
Tano jau artinya tanah jauh. Sejauh mata memandang, hanya ada tanah datar di Tanah Jawa. Tak ada gunung di sana.
Nenek Poltak mungkin benar, tapi mungkin juga keliru, soal asal-usul nama Tanah Jawa itu. Ada yang bilang, nama itu merujuk pada sekelompok suku Jawa Hindu. Konon mereka pemukim pertana di sana, dahulu kala.
"Horas, eda!" Nenek Poltak menyapa dari kaki tangga rumah Ompung Purbatua.Â
Terdengar langkah kaki bergegas di atas lantai papan. Lalu membuka pintu depan rumah.
"Bah, horas, eda." Â Dua orang perempuan namareda, iparan, berpelukan.Â
"Bah, ini Poltak, ya. Sudah besar. Tampan pula." Giliran pipi kakan dan kiri Poltak jadi sasaran umma, ciuman, dari Ompung Purbatua boru.
"Horas, namboru." Purbatua muncul  dari belakang rumah. Dia tetbilang tulang, paman untuk Poltak. Poltak terbilang bere, ponakan, untuknya.
"Purba, panggil bapakmu ke kedai. Ajak beremu si Poltak itu."
Pemukiman Ompung Purbatua terdiri dari puluhan rumah yang berbaris saling berhadapan. Di tengah-tengahnya adalah halaman tanah luas. Digunakan sebagai pelataran untuk menjemur gabah. Atau pelataran untuk pesta adat.
Kedai itu ada di bagian belakang barisan rumah, berada di tengah kebun kelapa. Ke situ Poltak dan tulang Purbatua menyusuli Ompung Purbatua.
"Among, namboru dari Toba datang." Purbatua memberitahu.
"Bah, syukurlah. Eh, ada Poltak, pahompuku. Sini, duduk dekat ompung." Ompung Purbatua meraih bahu Poltak lalu mengajaknya duduk di sisinya. "Ei, Amani Hotma, kasi dulu lampet dan teh manis untuk pahompuku ini."
Sejurus kemudian. Â Dua lampet panas dan segelas teh manis sudah disajikan Amani Hotma, pemilik kedai, di hadapan Poltak. Asapnya, putih tipis, terlihat masih mengepul.
Poltak memandangi lampet dan teh manis itu dengan antusias. Itu adalah pasangan panganan dan minuman kesukaannya.Â
Kakeknya, dulu, yang membiasakan itu. Nyaris tiap hari Sabtu di kedai Ama Rosmeri di Hutabolon. Pagi-pagi sebelum lonceng masuk sekolah berdentang.
"Sudah tiga tahun ompung doli pergi." Mendadak Poltak teringat mendiang kakeknya. Lampet dan teh manis itu pemicunya.
Sebuah nostalgia berputar seperti film di layar tiga dimensi. Poltak melihat kakeknya duduk di sampingnya di kedai Ama Rosmeri. Berbincang dan tertawa, sambil menghisap rokok lintingan sendiri, dengan teman-temannya sesama orang tua.
Poltak menikmati, sangat menikmati, pengalaman bersama kakeknya itu. Tak lekang dari ingatannya.
"Minumlah tehmu, amang. Makanlah lampetmu itu." Â Ompung Purbatua mengingatkan, dengan suara rendah, nuabsa kasih.
"Olo, ompung." Poltak terbangun dari lamunan nya. "Sudah lama sekalu tak begini," katanya dalam hati. Sambil menyeruput teh manis. Lalu mengunyah lampet.
Air mata nyaris menggenang di kedua mata Poltak. Teringat dia kepada kakeknya. Kakek yang selalu menyebutnya pahompu hasian, cucu tersayang.Â
"Ah, tidak. Aku tak boleh menangis." Poltak menguatkan hatinya.Â
"Kalau sampai menangis, malulah pada Berta." Poltak jaga gengsi. Tapi, Â "Bah, mati aku. Kenapa pula aku teringat Berta?" (Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H