Poltak sudah mempersiapkan segala sesuatunya untuk menumpang kapal laut "Tampomas" dari Belawan ke Tanjungpriok. Â Waktu itu layanan pelayaran "Tampomas" hanya sekali dalam seminggu. Â
Eh, tiba di Medan, dapat kabar kapal "Tampomas" rusak, sehingga waktu keberangkatan harus ditunda kurang lebih seminggu kemudian. Itu pun hanya perkiraan, bisa lebih lama lagi.
Poltak tidak mungkin menunda keberangkatan ke Jawa. Â Terlambat seminggu lagi, waktu pendaftaran ulang sudah lewat di Perguruan Tinggi tujuan. Â Bisa-bisa dianggap Poltak mengundurkan diri. Â Alamat gagal kuliah kalau sampai begitu.
Lantas, bagaimana jalan keluarnya? Â
Falsifikasi Lewat Pengalaman Empiris
Di situlah manfaat pepatah "pucuk dicinta ulam tiba" tadi. Â Kapal laut dicinta, kapal terbang yang tiba. Tak ada jalan lain. Dan tak hendak mundur tekad merantau.
Maka jadilah diputuskan, Poltak naik kapal terbang ke Jakarta. Â Dibelilah tiket kapal terbang "Mandala Airlines". Â Harganya, kalau tak salah, Rp 75,000. Â Tiga kali lipat harga tiket kapal laut "Tampomas".
Tapi itulah satu-satunya pilihan. Tak lazim untuk anak petani Batak yang hendak kuliah ke Jawa. Maka ada konsekuensinya. Â Harus sukses kuliahnya. Â Malulah kalau gagal, sebab sudah diberangkatkan dengan kapal terbang. Â Bah, bisa ditertawakan ikan mujair se-Danau Toba si Poltak itu.
Maka terpenuhilah falsifikasi pikiran di masa kecil oleh pengalaman empiris di masa dewasa.
Saat menaiki tangga kapal terbang di Lapangan Terbang Polonia, Medan, dan masuk ke dalam ruang kabin penumpang, maka percayalah Poltak pada ilmu-pengetahuan. Â Kabin kapal terbang "Mandala" itu ternyata lebih besar dari kabin penumpang motor bus. Â
Jumlah penumpangnya juga lebih banyak dari jumlah penumpang motor bus. Â Kursi penumpang 4 buah per baris. Â Bagus dan empuk. Harum pula. Tak seperti kursi penumpang motor bus "Betahamu" yang keras dan gompal-gompel. Â