Maka berbahagialah mereka yang percaya walau tak melihat. Dan Poltak jelas tak termasuk dalam bilangan itu.
Pikiran masa kecilnya tak benar-benar terkoreksi oleh ilmu-pengetahuan modern. Â Di benak Poltak masih tertanam pikiran bahwa kapal terbang itu sebesar peti mati dan penumpangnya seorang saja dalam posisi tengkurap.Â
Dan bahwa lapangan terbang itu mungkin saja hilang dari pandangan mata, sehingga kapal terbang tidak bisa mendarat. Ya, Poltak belum paham tentang cara kerja radar.
Pikiran sesat Poltak hanya mungkin difalsifikasi melalui pengalaman langsung naik kapal terbang. Tapi itu ibarat "pungguk rindukan bulan". Bagaimana pula jalannya sehingga Poltak anak kampung Uluan-Toba itu bisa naik kapal terbang.Â
Namun siapakah manusia sehingga bisa menolak kebenaran pepatah "pucuk dicinta ulam tiba"?
Awal 1980-an, karena kerja logika prestasi akademis, Poltak harus berangkat ke rantau Jawa untuk melanjutkan pendidikan ke sebuah Perguruan Tinggi. Â Itu artinya harus pindah pulau dari Sumatera (Utara) ke Jawa (Barat).
Waktu itu hanya tersedia empat cara berpindah dari Uluan-Toba ke Jawa.
Pertama, jalan kaki. Jika memilih cara ini, maka mungkin tak akan pernah sampai di Jawa. Sebab tak ada seorangpun yang bisa jalan kaki melintasi Selat Sunda.
Kedua, naik bus rute Medan-Jakarta. Ini jalan sengsara, karena akan memakan waktu 5-6 hari, paling cepat. Â Tubuh mungkin akan gempor juga macam perkedel lantaran terguncang-gunjang seminggu di dalam motor bus.
Ketiga, naik kapal laut. Nah, ini yang paling diidamkan anak-anak Tanah Batak. Â Naik kapal motor "Tampomas" dari Belawan-medan ke Tanjungpriok-Jakarta. Â Perjalanan tiga malam dua hari mengarungi perairan di timur pulau Sumatera. Â Harga tiket terjangkau oleh isi dompet kebanyakan orang Batak. Perlu diingat, waktu itu Tanah Batak adalah "noktah merah" dalam peta kemiskinan Indonesia.
Keempat, naik kapal terbang. Ah, memikirkannya saja pun tak pantas. Â Tak adalah ceritanya anak-anak petani miskin dari Tanah Batak berpikir naik kapal terbang ke Jawa. Terlalu mahal dan terlalu mewah. Â Tak tahu diri jadinya.