Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

PSSI Tak Pandai Menari Dikatakan Lantai Terjungkat

23 Juli 2022   16:26 Diperbarui: 23 Juli 2022   19:57 673
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa saja yang menempuh SD di Indonesia, mesti tahu peribahasa ini. "Awak tak pandai menari dikatakan lantai terjungkat."

Itu materi pelajaran Bahasa Indonesia. 

Pengurus PSSI mestinya tahu juga peribahasa yang elok namun tajam itu. Kecuali pengurus yang tak lulus SD di Indonesia. Adakah?

Peribahasa itu dikenakan pada seseorang yang selalu menyalahkan orang lain, kondisi, aturan, atau apa saja di luar dirinya, bila mengalami kegagalan dalam peketjaan atau hidupnya.

Itu relevan sekali dikenakan pada kalangan sepak bola.

Pada skala mikro, satu tim sepakbola misalnya gemar menyalahkan kondisi lapangan yang tak rata atas kekalahannya.  Atau menyalahkan kualitas rumput yang jelek. Atau wasit yang dituduh berat sebelah.

Bukannya evaluasi diri. Menemukan kelemahan sendiri, lalu memperbaikinya. 

Hal serupa bisa dikatakan dengan PSSI yang diojok-ojok supporter  untuk keluar dari AFF lalu pindah ke EAFF.  

Pemicunya  aturan main AFF pada helatan Pisla AFF U-19 2022 yang dinilai "tak adil". Penerarapan aturan "head to head" pada ajang itu telah mencegah Tim U-19 Indonesia masuk semi-final.  

Hanya karena pada  laga penentuan di fase grup Thailand dan Vietnam mencetak skor 1-1. Sementara Indonesia hanya mencatat skor 0-0 saat melawan dua tim itu. Artinya secara "head to head" Indonesia kalah. Maka gagal masuk semi-final, walau menjadi tim pencetak gol dan selisih gol terbanyak.

Itulah gara-garanya!

Supporter lalu marah dan menuduh AFF sengaja menerapkan aturan yang merugikan Indonesia. Juga menuduh AFF memihak Vietnam dan Thailand. Sambil menuduh kedua tim itu "main mata" pada laga terakhir untuk menyingkirkan Indonesia.

Masih kata para supporter, seandainya Tim U-19 lolos semifinal, maka sudah pasti akan tampil sebagai jawara Piala AFF U-19 2022.

Tapi gara-gara aturan "head to head" ala AFF nan sontoloyo itu -- aturan dan AFF-nya sama sontoloyo -- Indonesia gagal ke final dan batal jadi juara.

Hei, para supporter Indonesia, juga pengurus PSSI. Loe tu ye, sauvinis boleh-boleh saja. Tapi akal sehat jangan disia-sia, dong.

Gue kasi tau loe pade, ye. Pikiran elo, elo, dan elo tuh  namanya "awak tak pandai menari dikatakan lantai terjungkat".

Timnas U-19 kita yang tak pandai bikin gol ke gawang Thailand dan Vietnam, dikatakan aturan "head to head" yang sontoloyo dan Thailand yang "main mata" dengan Vietnam yang "main mata" di laga terakhir.

Lihat faktanya, Kawan. Di laga semi final Malaysia membantai Vietnam 3-0 dan Laos membantai Thailand 2-0.  Sementara di fase grup, Indonesia hanya mampu bermain imbang 0-0 dengan Vietnam dan Thailand.

Tahu apa artinya angka-angka skor itu, kan?

Itu artinya Malaysia dan Laos lebih kuat dibanding Indonesia.  Jadi, misalkan Indonesia melaju ke semi final sebagai juara grup -- itu kalau pakai aturan selisih gol, sih -- kemungkinan besar bakalan kalah juga dari Malaysia atau Laos.

Berarti Indonesia kemungkinan besar juga akan gagal jadi juara Piala AFF U-19 2022, dong.

Karena itu tak perlulah mutung bin ngambek bilang AFF ngawur,  tak mutu, dan merugikan Indonesia. Lalu, karena itu, mau pindah ke EAFF yang lebih hebat ke mana-mana.

Eh, itu ibarat orangtua yang kecewa pada SD Gang Sapi karena anaknya gak pernah jadi juara kelas di situ.  Lalu mutung mau memindahkan anaknya ke SD Amat Buras yang lebih top bin favorit. Yaelah, bakalan tambah mejret tuh anaknya.

Coba pikir macam manalah nasib Timnas kita kalau PSSI pindah ke EAFF. Pastilah jadi lumbung gol bagi Korsel, Jepang, dan China. Kira-kira macam Brunai, Kamboja, dan Timor Leste kalau di AFF. Mau loe gitu?

Jadi gah usah anggar-jagolah PSSI mau minggat dari AFF dan merantau ke EAFF.  

Evaluasi lalu benahi diri aja. Lalu jadilah jawara ASEAN. Gak usah nyalahin aturan AFF, organisasi AFF, Thailand, dan Vietnam segala.

Lagi pula, pada sadar gak sih, kalau keanggotaan PSSI di AFF itu juga dalam rangka solidaritas dan integrasi ASEAN? Apa kata dunia kalau PSSI minggat dari AFF hanya gegara Timnas U-19 gagal masuk semi-final Piala AFF 2022.  Cemen banget, woi!

Ayo, fokus pembenahan ke dalam organisasi PSSI. Benahi struktur dan kultur.

Di sisi struktur, bebaskan PSSI dari kungkungan "birokrasi kekuasaan". Jangan jadikan PSSI sebagai basis akses kepada kekuasaan, atau basis ambisi menjadi gubernur.

Jangan juga main kuasa di tubuh PSSI. Seperti kuasa menentukan nama-nama pemain Tim Nasional. Juga kuasa main pecat pelatih nasional.

Lalu di sisi kultur, bebaskan PSSI dari mentalitas "menerabas". Mentalitas pencari "jalan pintas" yang serba instan untuk mendapatkan hasil juara Piala AFF, Piala Asia, dan Piala Dunia.

Mie instan memang bikin kenyang, tapi cara instan tak bikin menang.

Semisal cara naturalisasi pemain asing berdarah Indonesia. Itu jalan pintas yang tak menjamin sukses. Keberhasilan tim tidak ditentukan satu dua pemain naturalisasi yang "hebat". Tapi ditentukan strategi, organisasi permainan, soliditas, komunikasi, dan endurance tim.

Begitu juga kontrak pelatih asing. Itu bukan jaminan. Shin Tae-yong memang sukses membawa Korsel ke Piala Dunia. Tapi ingat, dia waktu itu pelatih domestik dengan nasionalisme kuat.

Sekarang Shin Tae-yong jadi pelatih asing dengan motif kapitalisme sepakbola di Indonesia. Nasionalismenya ditinggal di Korsel sana.

Masih berharap Shin Tae-yong akan mengantar Timnas Indonesia ke Piala Dunia? Nanti dulu, boss. Cek dulu, kepentingan kapitalistiknya terpenuhi, gak?

Jadi, sudahlah! Tetaplah PSSI di AFF. Evaluasi dan benahi struktur dan kultur Timnas di semua level. Jadilah jawara AFF di semua kategori usia.

Setelah itu, barulah bertarung untuk menjadi juara Asia dan juara dunia. 

Jangan lagi bikin kita ibarat pungguk rindukan bulan. (eFTe)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun