"Matilah aku." Poltak tiba-tiba berkeringat dingin. "Akan bagaimanalah ceritaku," bisiknya dalam hati.
Poltak sangat malu kalau harus menceritakan mimpinya menjadi kupu-kupu bersama Berta di tepian Danau Toba. Masa calon pastor mimpinya romantis begitu.
"Santabi, Gurunami. Mimpi itu, kan rahasia pribadi. Janganlah dibuka, Gurunami." Poltak pada akhirnya merasa menemukan alasan untuk menghindari tugas penceritaan mimpi.
"Bah, pandai pula kau berkelit, Poltak."
Seisi kelas terdiam. Khawatir kalau-kalau Guru Arsenius marah karena Poltak menolak perintahnya.
"Baiklah kalau begitu. Tak usah cerita di depan kelas. Semua, ambil secarik kertas. Tulis, ceritakan mimpimu tadi malam. Ini ulangan mengarang, Bahasa Indonesia. Pak Guru ambil nilainya."Â
Murid-murid melepas napas lega. Tak perlu membuka rahasia pribadi di depan kelas. Guru Arsenius memang penuh pengertian.
"Ya, kalau aku diminta anak-anak ini menceritakan mimpiku tadi malam, akan bagaimana pula ceritaku?" pikir Guru Arsenius sambil tersenyum-senyum.
"Mimpi apa?" komat-kamit mulut Poltak kepada Berta yang kebetulan menoleh ke arahnya.
"Rahasia," balas Berta komat-kamit sambil meleletkan lidah.Â
"Apa pula yang perlu dirahasiakan. Kejadian siang datang ke dalsm mimpi malam." Poltak membatin.