Nah, jika Kompasiana adalah organisasi dengan kekuasaan bersifat remuneratif -- dan itu artinya organisasi bisnis -- maka pola keterlibatan yang sepadan bagi kompasianer adalah kalkulatif. Ada hitungan untung/rugi atau manfaat/mudarat. Â
Jelasnya, jika menulis di Kompasiana dinilai lebih menguntungkan atau bermanfaat, dibanding di situs lain, atau tak menulis sama sekali, maka kamu akan bertahan atau setia terlibat sebagai kompasianer aktif.Â
Sebab dengan menulis di Kompasiana, kamu misalnya bisa mendapat imbalan uang (K-Rewards, hadiah kompetisi blog), merchandise, buku, dan aneka bentuk penghargaan lain. Â Itu yang bersifat langsung. Â
Mungkin ada juga manfaat yang bersifat tidak langsung. Misalnya karena artikelmu di Kompasiana, maka kamu diundang jadi narasumber. Â Itu ada honornya, bukan?
Dengan keterlibatan kalkulatif semacam itu, maka sebenarnya tidak logis jika ada kompasianer yang bilang tidak memperoleh manfaat apapun dari keterlibatan aktifnya di Kompasiana. Â Sebab jika tak ada manfaat, entah itu ekonomi, sosial, maupun psikologis, mustahillah bertahan di Kompasiana. Â Mestinya dia sudah kabur ke situs lain, seperti dilakukan banyak kompasianer generasi pertama.
Juga agak aneh, walau mungkin ada, bila kompasianer  bilang bertahan terlibat di Kompasiana karena alasan moral.  Memangnya norma sosial apa yang diperjuangkan Kompasiana? Kompasiana kan organisasi bisnis, bukan organisasi agama atau voluntir. Jika ada norma yang diusung oleh Kompasiana, maka itu adalah norma-norma bisnis yang sehat.
Juga aneh jika ada kompasianer yang merasa terpaksa terlibat aktif di Kompasiana. Â Lha, keanggotaan di Kompasiana kan bersifat terbuka dan sukarela. Â Tak ada paksaan. Â Kecuali jika ada/mahasiswa yang terpaksa menayangkan tulisannya di Kompasiana karena diwajibkan guru/dosen.
Sampai di sini, sudah jelas, bukan?
***
Nah, sekarang kita mungkin boleh sepakat akan dua hal berikut ini.
Pertama, Kompasiana adalah organisasi bisnis dengan pola pelancaran kekuasaan yang bersifat remuneratif/utilitarian.Â