Kata rekan itu, politisi Indonesia akan selalu berdalih dan menyalahkan pihak lain yang lemah, untuk menyelamatkan diri dari kesalahan yang diperbuatnya sendiri. Dia akan melepas tanggungjawab dan mengkambing-hitamkan orang lain. Begitu orang Indonesia dididik sejak kecil.
Dan benarlah demikian. Bukankah Roy Suryo cari selamat dengan mengkambing-hitamkan akun-akun pengunggah terdahulu foto itu dan para buzzer yang dituduhnya provokator?
Sungguh "menakjubkan", sikap Roy Suryo itu persis sama dengan sikap seorang anak jelas tiga SD bernama  Poltak tahun 1969 di pelosok Tanah Batak sana. Itu sikap seorang anak kecil 52 tahun yang lalu.Â
Ya, 52 tahun lalu si kecil Poltak berdalih bukan dia yang pertama menyanyikan lagu ledekan "Donna Tarida Kolorna". Â Teman-temannyalah yang menyanyikan lebih dulu, dan dia hanya ikut-ikutan.
Tapi guru agama si Poltak telah mengingatkan satu pelajaran, bahwa setiap orang harus menyadari status sosialnya lebuh dulu, untuk menilai dampak yang mungkin terjadi jika mengujarkan suatu hal yang sensitif. Kata orang Batak, "Jolo nidilat bibir asa nidok hata." Jilat bibir dulu sebelum berujar. Timbang dulu buruk-baiknya.
Si kecil Poltak dulu adalah ketua kelas, dan si dewasa Roy Suryo kini adalah tokoh politik. Keduanya tak menjilat bibir sebelum berujar. Kalau kamu bingung mencari istilah untuk melabel tindakan semacam itu, silahkan tanya kepada Rocky Gerung. (eFTe). Â
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H