Simpan dulu cerita dan hipotesa di atas dalam hati. Saya mau ceritakan kisah lain dari masa lalu.
***
Akhir 1960-an di Hutabolon (pseudonim) Tanah Batak, permainan marompera, lompat tali karet, sangat populer di kalangan anak perempuan. Â
Permainan itu selalu dimainkan anak-anak perempuan SD Hutabolon saat jam istirahat. Anak-anak laki senang menontonnya. Bukan karena mengagumi ketrampilan lompat anak-anak perempuan. Tapi menunggu saat rok anak-anak perempuan itu tersibak dan terlihatlah warna kolornya.
Itu sebenarnya momen langka. Sebab, lazimnya, setinggi apapun anak-anak perempuan itu melompat, selalu ada cara untuk mencegah kolor terlihat.Â
Suatu hari di tahun 1969 Â Poltak (pseudonim) dan kawan-kawannya, waktu itu masih kelas tiga SD, menonton anak-anak perempuan marompera. Â Pucuk dicinta ulam tiba, sepandai-pandai tupai melompat suatu ketika jatuh juga. Rok seorang anak perempuan tersibak dan tampaklah sekilas warna merah kolornya.
Spontan teman-teman Poltak bernyanyi meledek: "Donna tarida kolorna, tingki marompera, ibereng bapakna." (Donna tampak kolornya, saat lompat tali karet, dilihat bapaknya.) Itu semacam tembang dolanan anak laki untuk menggodai anak perempuan waktu itu.
Karena berulang-kali dinyanyikan teman-temannya, Poltak merasa terprovokasi sehingga akhirnya ikut juga menyanyi dengan suara keras. Bahkan saat teman-temannya sudah diam, Poltak masih bernyanyi juga.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Tiba-tiba saja guru agama menghardik Poltak tepat di belakang kepalanya. Kata guru agama, itu nyanyian tak sopan.
Poltak berdalih bahwa teman-temannya yang lebih dulu bernyanyi. Tapi guru agama bilang suara Poltaklah yang didengarnya. Kalaupun teman-temannya yang memulai bernyanyi, menurut guru agama, Poltak harusnya melarang. Bukannya malah ikut nyanyi.
"Kamu kan ketua kelas, Poltak. Harusnya beri teladan bagus. Bukan malah ikut rusak," kata guru agama menasihati. Â Poltak mati kutu.