Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Pancasila, Timnas Garuda Indonesia, dan Semangat Berani Menang

10 Juni 2022   14:18 Diperbarui: 10 Juni 2022   15:05 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya tak hendak bicara sepakbola Pancasilais. Walau kita bisa saja menelisik relevansi butir-butir nilai Pancasila pada permainan sepakbola. Tapi untuk apa?  Mau bikin penataran P4 khusus insan sepakbola? Lalu kalau tak lulus, maka dilarang main sepakbola?

Gagasan tentang Pancasila itu timbul dalam pikiran karena tetiba ingat sintesis Bung Karno.  Katanya, kalau lima sila Pancasila itu diperas, maka tinggallah satu nilai utama yaitu gotong-royong.  

Nah, nilai gotong-royong itu bukan sesuatu yang mengawang.  Dia membumi, diresapi dan dilakonkan setiap etnis bangsa Indonesia dengan istilah yang berbeda-beda.  

Boleh dikatakan, gotong-royong adalah etos kerja manusia Indonesia. Karena itu ada pepatah "berat sama dipikul ringan sama dijinjing". Juga pepatah "bersatu kita teguh bercerai kita runtuh".

Gotong-royong itu menyatukan perbedaan menjadi satu kekuatan besar.  Dengan gotong-royong, orang Indonesia mampu memindahkan rumah dan bahkan bukit batu. Itu sudah terjadi, bukan angan-angan.

Perbedaan itu itu adalah "bhinneka".  Menjadi "tunggal ika" dalam wahana gotong-royong.  Maka "bhinneka tunggal ika" tanpa semangat gotong-royong adalah kemustahilan.

Lalu apa kaitannya dengan Timnas Garuda Indonesia?

***

Begini.  Tanpa menjebak diri dalam terminologi "sepakbola pancasilais", suatu tim sepakbola menurut pemahaman saya adalah fakta "(ke)bhinneka(an)".  Bhinneka tidak saja dalam hal posisi pemain dalam tim, tapi juga dalam hal etnis, ras, agama, dan golongan sosial. Fakta "bhinneka", agar bertransformasi menjadi satu kekuatan besar, haruslah "tunggal ika".

Karena itu, tidak bisa tidak, butuh kehadiran sebuah nilai yang menjadi semangat pemersatu.  Itulah, dan seharusnya memang demikian, nilai atau semangat gotong-royong. 

Hanya dan hanya jika ada semangat gotong-royong, maka suatu tim sepakbola bisa bertransformasi menjadi kekuatan "bhinneka tunggal ika". Dan jika level itu tercapai, maka bisa dikatakan, permainan sepakbola dari sebuah tim merupakan pemanggungan "bhinneka tunggal ika" dalam bentuk aksi gotong-royong.

Saya terpikir soal semangat gotong-royong ini saat membaca berita tentang kritik Gong Oh-kyun, mantan asisten Shin Tae-yong yang kini menjadi pelatih Timnas U-23 Vietnam. Katanya, pemain Indonesia tak punya tekad kuat, lemah semangat.  Selain juga tak ramah.

Oh-kyun salah. Dia tak paham tentang orang Indonesia. Sebagai orang Indonesia, para pemain Timnas Garuda itu dalam dirinya sudah punya tekad atau semangat yang kuat dalam rupa semangat gotong-royong.  

Gotong-royong, itulah etos kerja setiap pemain Timnas Garuda dalam bermain sepakbola.  Kapanpun, di manapun, lawan siapapun, dan dalam event apapun.

Semangat gotong-royong itu juga menjadikan setiap pemain Indonesia ramah.  Sebab mustahil bergotong-royong kalau saling benci. Mustahil "bhinneka tunggal ika" jika saling tengkar, musuhan.

Masalahnya, ya, masalahnya etos kerja atau semangat gotong-royong itu tidak selalu optimal pemanggungannya saat Timnas Garuda berlaga di lapangan.

Selalu ada kasus pemain bermain semaunya sendiri.  Tak mau mendengar instruksi pelatih.  Tak mau mendengar teriakan dari rekan. Tak mau melihat posisi kawan dan lawan. Hanya melihat bola, kaki sendiri, dan lubang gawang lawan. Seakan-akan dia bermain sendiri melawan sebelas orang pemain tim lawan.

Saat situasi semacam itu terjadi, maka sudah bagus kalau Timnas Garuda bermain imbang tanpa gol dengan lawan. Semisal pada pertandingan persahabat FIFA Day Match melawan Timnas Bangladesh tempo hari. Biasanya kalah, seperti saat melawan Vietnam dan Thailand pada Piala AFF 2021 dan SEA Games 2021 baru-baru ini.

Lantas, bagaimana semestinya?

***

Menjelang laga kualifikasi Piala Asia 2023 melawan Timnas Kuwait, dalam sebuah artikel di Kompasiana saya sudah menulis Timnas Garuda bisa menang jika permainannya digerakkan oleh etos (perjuangan) gotong-royong. (Baca: "Melawan Kuwait, Timnas Indonesia Butuh Raisa dan Sniper", K. 8/6/2022).

Persis! Itulah yang terjadi saat laga Timnas Garuda melawan Kuwait pada tanggal 8 Juni 2022 di "halaman rumah" tim lawan itu. Tim Kuwait yang lebih hebat, di atas kertas dan dalam kenyataan, itu ditaklukkan Tim Garuda dengan skor 2-1.  

Orang bilang itu skor kemenangan tipis. Baiklah.  Orang itu juga perlu tahu bahwa beda tim pemenang dan tim pecundang itu cukup selisih satu gol.  Ingat, selisih satu gol!

Menonton ulang pertandingan itu, saya betul-betul melihat Timnas Garuda sedang memanggungkan semangat gotong-royong di lapangan.  Saat harus bertahan, maka semua mengambil posisi dan memainkan peran bertahan, sambil semua siap menyerang balik dengan cepat. Sebab bertahan adalah serangan potensil.

Saat menyerang balik dengan cepat, semua mengambil posisi dan memainkan peran menyerang, sambil semua siap transisi ke skema bertahan jika serangan gagal. Sebab menyerang adalah pertahanan potensil.

Itulah "bhinneka tunggal ika" di lapangan sepakbola.  Setiap pemain punya posisi dan peran spesifik yang bersinergi satu sama lain. Dua gol yang disarangkan ke gawang Kuwait adalah buah dari sinergi itu.  Tak perduli gol itu dibuahkan dari "bola mati" atau "bola mantul".

Untuk pertama kalinya sejak Piala AFF 2021 dan SEA Games 2021 juga saya melihat pemain Garuda Indonesia bermain dengan semangat "berani menang".   Ya, "berani menang", bukan "pantang kalah".  Sebab "pantang kalah" bisa bermakna draw.

Semangat gotong-royong itulah saya kira yang telah memberi kepercayaan diri kepada para pemain Kuwait.  Tak perduli ranking Timnas Kuawait lebih tinggi, skill dan reputasi pemain Kuwait lebih jago,atau  lapangan punya Kuwait.  Selama semangat gotong-royong menjiwai, selama sinergi "bihinneka tunggal ika" dilakonkan, maka Tim Kuwait bukanlah "singa gurun" yang tak bisa ditaklukkan.

Prinsip "berani menang" itu adalah implikasi logis dari gotong-royong.  Secara tradisi, gotong-royong selalu dilakukan untuk mewujudkan satu tujuan bersama yang tak mungkin diraih secara sendiri.  Jadi, di ujung semangat gotong-royong itu selalu  ada sukses, keberhasilan mencapai tujuan, suatu kemenangan bersama.

Karena itu, pemanggungan semangat gotong-royong di lapangan sepakbola adalah pernyataan keberanian untuk menang.  Ya, menang, bukan draw, apalagi kalah.

Timnas Garuda Nusantara sudah membuktikannya dalam laga melawan Timnas Kuwait. Maka tak ada alasan hal serupa tak berlaku dalam laga melawan Timnas Jordania dan Timnas Nepal. 

"Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh."  Ya, tidak ada yang tak bisa diwujudkan Timnas Garuda Indonesia melalui gotong-royong. Sebab gotong-royong berarti berani menang.  Ingatlah, ada Garuda di dadamu! (eFTe)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun