Prinsip itulah yang membuatnya konsinten dan persisten menulis artikel di Kompasiana. Bahkan dalam kondisi didera penyakit ginjal, Mas Jati masih tetap setia menulis.Â
Artikel terakhir Mas Jati di Kompasiana bertarikh  9 Juli 2021.  Setelah itu, kondisi kesehatan yang semakin memburuk telah menghambat darma baktinya untuk menghibur dan mencerdaskan sesama lewat Kompasiana.
Saya selalu menunggu artikelnya terbit kembali. Berharap kesehatannya segera pulih, setelah tahu dia terbaring sakit di rumah sakit. Tapi Tuhan berkehendak lain: "Cukup sudah pengabdian Jati Kumoro di bumi."
Dan saya harus mencari penjelasan imaniah demi memahami cara berpulang Mas Jati yang begitu sarat derita itu. Â Tentu dari sudut imani seorang Katolik yang imannya tak ada sebesar biji sesawi.
Inilah tafsirku. Setiap orang punya salibnya, dan itu adalah yang terbaik. Bahkan Yesus tak bisa menolak untuk tidak didera, memanggul salib ke bukit Golgota, lalu wafat dengan cara paling hina, tergantung bersama penjahat di kayu salib.
Itu bukan sebuah perbandingan. Hanya semacam terang imani. Untuk bisa menerima cara berpulang Mas Jati yang "sarat derita" itu sebagai pilihan terindah dari Tuhan Maha Pengasih untuknya.
Dengan terang iman seperti itu, saya kemudian bisa menerima kepulangan Mas Jati sebagai jalan terbaik untuknya. Sebagai  jalan paling adil yang dikaruniakan Tuhan baginya. Jalan menuju kedamaian abadi di rumah-Nya.
Pemakaman dengan demikian bukan lagi peristiwa sedih. Bukan akhir dari pertemuan. Pemakaman adalah langkah simbolik memasuki gerbang kehidupan lain, suatu misteri yang tak mungkin diketahui orang hidup.
Di sana, di alam kehidupan yang masih misteri itu, saya berharap Mas Jati menunggu kita. Entah dengan cara bagaimana. Tapi jelas bukan seperti caranya menunggu kehadiran kita di Kompasiana. Â
***
Kompasiana, seperti juga ragam platform medsos lain, telah memaksa kita untukvmendefinisikan ulang persahabatan.