"Pemerintah melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng mulai Kamis 28 April 2022 sampai batas waktu yang akan ditentukan kemudian."- Presiden Joko  Widodo, 22 April 2022
Hanya selang beberapa menit setelah pengumuman larangan ekspor minyak sawit itu, distorsi informasi langsung terjadi. Â Semua media daring, juga televisi, Â memberitakan pemerintah melarang ekspor CPO, crude palm oil, atau minyak sawit mentah.
Para politisi dan pengamat langsung memberi respon instan. Katanya kebijakan itu akan merugikan ekonomi Indonesia, tidak akan efektif menurunkan harga minyak goreng sawit (MGS), akan merugikan pekebun sawit karena menekan harga tandan buah segar (TBS), dan lain sebagainya.
Benar saja, distorsi informasi itu langsung berimbas negatif ke harga dan volume pembelian TBS di tingkat petani. Harga langsung anjlok antara Rp 300 - Rp 1,300 Â per kilogram. Â Volume pembelian oleh pabrik juga anjlok sampai 50 persen.
Selasa kemarin (26/4/2022) seorang rekan pekebun sawit mengirim pesan. Â Katanya dia hanya mampu menjual 50 persen produksi TBS miliknya pada hari itu. Â Disertakan juga video antrian panjang truk pengangkut TBS, menunggu giliran bongkar di pabrik.
Saya akan tunjukkan bahwa distorsi informasi itu telah terjadi sekurangnya karena dua hal.Â
Pertama, kesalahan para pewarta dalam pemberitaan isi pengumuman presiden.Â
Kedua, kelambanan Menteri Perdagangan dalam menerjemahkan "bahasa kebijakan" presiden ke dalam "bahasa teknis" pelaku bisnis.
Selanjutnya, saya akan tunjukkan bagaimana para pengamat ekonomi telah terjebak dalam sesat logika (logical fallacy). Khususnya setelah pemerintah menjelaskan tidak ada larangan ekspor CPO.
Distorsi RBD menjadi CPO
Minyak sawit itu, pada garis besarnya, terdiri dari tiga jenis. Â Jenis pertama adalah CPO, crude palm oil, hasil perasan langsung dari buah sawit. Â Wujudnya cairan merah, kotor, dan berbau menyengat. Â Inilah yang paling banyak diekspor. CPO ini bukan bahan baku MGS.