Lalu apa hubungannya dengan isu minyak goreng yang kini sedang mendidih lagi?Â
Saya ingin berdiskusi dengan meletakkan isu itu dalam konteks pertarungan sains dan pengetahuan asli. Pertarungan yang mengambil tempat di dapur warga Indonesia, pemilik rerata IQ 78.49 itu.
"Revolusi Dapur"Â Keluarga Indonesia
Pengutipan angka IQ orang Indonesia yang rendah itu, dan pengangkatan isu minyak goreng, bukan dalam rangka mencari hubungan kausatif anrara keduanya.
Bukan, bukan seperti itu.Â
Sebab harus diakui, minyak goreng mengandung unsur gizi yang baik untuk kesehatan tubuh termasuk otak.Â
Juga tak ada penelitian ilmiah yang membuktikan, misalnya, tingkat konsumsi minyak goreng berkorelasi negatif dengan IQ manusia.
Kaitannya hanya sebatas ini: IQ orang Indonesia yang rendah itu, suka tidak suka, telah menjadi sebuah konteks pertarungan yang mempermudah sains menaklukkan pengetahuan asli.
Dengan IQ rendah, orang Indonesia tidak cukup mampu bersikap kritis pada produk sains. Juga tidak cukup kreatif menemukan, atau menemukan kembali, produk pengetahuan asli untuk menahan laju invasi produk sains.
Mari kita ulik soal ini pada kasus minyak goreng sawit sebagai produk sains.
Begini. Sampai tahun 1970-an, kegiatan masak-memasak di dapur mayoritas rakyat Indonesia, terutama di daerah pedesaan, masih didominasi teknik/teknologi memasak produk pengetahuan lokal.
Rebus (tanak), kukus, dan panggang (bakar), kita singkat "rekupang", adalah tiga teknik utama yang diwariskan sebagai pengetahuan asli turun-temurun.