Dulu, waktu kanak-kanak di Panatapan Toba, obat sakit gigi itu gampang. Nenek cukup mengukus akar kantong semar di atas nasi yang baru diaron dalam periuk.Â
Lalu, panas-panas, akar itu kemudian digigit dengan gigi yang sakit. Sejenak kemudian, sembuh. Udah, gitu aja.
Pernah suatu ketika, saat geraham kiri bawah sakit, Engkong pergi ke kios tanaman hias di Ragunan. Mau beli kantong semar untuk diambil akarnya jadi obat.
Eh, tiba di kios penjual kantong semar, sakit gigi Engkong malah tambah parah. Geraham kanan atas yang tadinya adem-ayem, ikutan kumat cenut-cenut bikin Engkong bertanduk. Gara-garanya, harga kantong semar itu sama dengan tarif dokter gigi untuk cabut satu gigi.Â
Bayangkan, harga sepohon kantong semar segede upil, ya, benar-benar segede upil, namanya  kantong semar naga, berkisar Rp 300,000 sampai Rp 400,000.Â
Mending Engkong bayar utang soto kepada Mas Karso, deh. Ketimbang beli kantong semar upil itu. Jangan-jangan akarnya gak ada pula. Engkong kan butuh akarnya, bukan kantongnya.
Tapi kalau harus ke dokter gigi juga, eman-eman.Â
Tahun 1992, Engkong pernah berobat ke dokter gigi. Dua kali kunjungan. Kunjungan pertama cuma diberi obat pereda sakit. Kunjungan kedua, suntik bius gusi, lalu cabut satu geraham keropos.Â
Selesai. Bayar total Rp 350,000.
Busyet. Pikir Engkong, sudah kehilangan geraham, berdarah-darah, dan gusi kebas, hilang duit pula Rp 350,000.
Itu yang pertama dan terakhir kali Engkong berobat ke dokter gigi.