Helatan MotoGP Indonesia 2022 di Sirkuit Mandalika Lombok (18-20 Maret), sukses menorehkan "pembeda" (differentiation) yang sangat kuat. Pembeda itu adalah aksi pawang hujan Rara Isti Wulandari menjalankan ritual "penghentian hujan" di area pit line sirkuit. Pertama dan satu-satunya sepanjang sejarah MotoGP.
Aksi Rara disorot kamera utama MotoGP dan disiarkan ke seluruh dunia, lengkap dengan penjelasan komentator. Â Tak hanya disaksikan oleh tim-tim MotoGP, panitia, dan penonton yang hadir di sirkuit. Tapi juga disaksikan oleh seluruh mata penonton siaran itu di seluruh dunia.
Video dan berita aksi Rara menghentikan hujan itu menjadi viral, mengimbangi pemberitaan balapan MotoGP itu sendiri. Konten seputar Rara dan aksinya memenuhi laman media massa dan media sosial. Sosok Rara bahkan  merambah jagad anime menjadi, antara lain, karakter Rara the Rain Shaman.
Seiring viralitas aksi Rara, pro-kontra pun merebak di ruang publik. Â Kelompok pro bilang aksi Rara adalah apresiasi terhadap kearifan lokal nusantara. Kelompok kontra bilang aksi pawang hujan itu musyrik/syirik dan mempermalukan bangsa.
Lepas dari pro-kontra yang tak punya titik temu itu, saya ingin sampaikan pandangan lain. Â Saya mau tunjukkan bahwa kehadiran pawang hujan di sirkuit MotoGP itu adalah wujud sinergi tradisi dan modernitas dalam satu panggung pertunjukan kecanggihan teknologi otomotif.
Tradisi dan Modernitas, dari Negasi ke Sinergi
Tradisi, jika merujuk Merriem-Webster Dictionary, Â secara sederhana diartikan sebagai pemikiran, kegiatan, dan perangkat lama yang dipertahan secara turun-temurun dalam suatu masyarakat. Contohnya praktek-praktek religi asli semacam sesajen kepada leluhur, sesajen kepada Nyi Roro Kidul, ritus bersih desa, dan ritual tolak bala. Â
Ritual pengalihan hujan oleh pawang hujan terbilang sebagai tradisi yang tak punya dasar saintifik. Â Kebenarannya (truth) tak bisa dibuktikan secara empirik. Â Penerimaan terhadapnya semata berdasar keyakinan (beliefe).
Modernitas, sementara itu, merujuk pada suatu keadaan modern. Modernitas pada intinya menunjuk pada pemikiran, kegiatan, dan perangkat baru yang diadopsi oleh suatu masyarakat, baik itu bersumber dari luar atau dari dalam masyarakat itu sendiri. Modernitas pada dirinya menolak atau mendevaluasi tradisi, terutama unsur-unsur yang bersifat supranatural.
MotoGP secara keseluruhan adalah contoh modernitas di dunia otomotif.  Motor balapnya menggunakan  teknologi mesin dan body terbaru sekaligus tercanggih, yang diproduksi dengan teknologi digital paling presisif. Lintasan balap juga dibangun dengan menerapkan teknologi bahan, struktur, dan disain jalan tercanggih.  Pembalap juga memacu motor berdasar pengetahuan dan pengalaman saintifik.Â
MotoGP sepenuhnya adalah produk saintifik. Kebenarannya (truth) bisa dibuktikan secara empirik. Â Sebagai dasar untuk menerimanya sebagai hal yang dapat dipercaya (trust).
Modernisasi pada awalnya, atau sejak 1950-an, bersifat menegasikan tradisi, atau menolak dan membuang budaya (pemikran, kegiatan, perangkat) tradisional. Â Tradisi dinilai anti-kemajuan, karena itu harus disingkirkan. Caranya melalui jalur pendidikan saintifik. Â Aibatnya, pembangunan berparadigma modernisasi, seperti kini terjadi di Indonesia, kerap menimbulkan konflik antara pemerintah/swasta sebagai agen modernisasi dan komunitas adat sebagai pengampu tradisi.
Barulah sejak 1980-an muncul pemikiran dan kemudian upaya-upaya pinggiran membangun sinergi tradisi dan modernitas. Berdasar hasil-hasil studi kasus pada sejumlah kelompok etnik nusantara, antropolog Michael R. Dove (1985) misalnya menyimpulkan bahwa budaya tradisional dapat juga bersifat sinergis terhadap modernitas dalam proses pembangunan. Semisal tradisi panen tengkawang pada Dayak Punan bersifat supportif pada industri dan pasar global minyak tengkawang.
Sinergi Tradisi dan Modernitas di Mandalika
Secara ringkas bisa dikatakan tradisi dan modernitas itu berseberangan. Â Tradisi itu berbasis non-sains, irrasionalitas, Â sehingga hanya mungkin diyakini (belief). Sedangkan modernitas berbasis sains, rasionalitas, Â sehingga mungkin untuk menerima kebenaranannya (truth) dan mempercayainya (trust).
Dalam hal pengendalian curah hujan, konflik antara tradisi dan modernitas bisa dipahami lewat perbandingan pawang hujan dan teknologi modifikasi cuaca (TMC). Â Untuk merelokasi curah hujan, pawang hujan cukup membaca mantera dilengkapi dengan pernak-pernik alat dan bahan tertentu, semacam bawang, cabai, kembang, dan lain-lain. Â
Hal seperti itu lazim ditempuh untuk mengamankan acara di alam terbuka, semisal pesta nikah outdoor, seremoni peresmian bangunan, dan sepakbola. Â Pembukaan Asian Games 2018 di Jakarta konon menggunakan jasa pawang hujan juga.
Sementara TMC menggunakan teknologi penerbangan untuk menabur garam di satu titik di langit. Â Tujuannya membibitkan awan hujan di titik itu, sehingga tidak turun di lokasi yang ditargetkan bebas hujan. Â Hal seperti itu beberapa kali dilakukan BPPT dan TNI-AU untuk melokalisasi curah hujan diSelat Sunda atau Laut Jawa, sehingga tidak turun di Jakarta.
Sebenarnya, demi kelancaran helatan MotoGP Mandalika, pihak Mandalika Grand Prix Association (MGPA) dan Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC), bisa saja menerapkan TMC untuk merelokasi curah hujan sehingga tak turun di Sirkuit Mandalika. Tapi MGPA dan ITDC tidak menempuh opsi itu, tapi justru memilih penggunaan jasa pawang hujan Rara Isti Wulandari. Â
Itu ternyata bukan yang pertama. Â Pada sesi pra-musim (ujicoba lintasan) di Sirkuit Mandalika (11-13 Februari), jasa Rara juga sudah digunakan.
Jelas dalam kasus MotoGP Mandalika, untuk pengendalian cuaca, pihak MGPA dan ITDC lebih memilih opsi yang diyakini (believe) ketimbang yang teruji kebenarannya dan terpercaya (truth and trust). Hal itu didasarkan pada pengalaman "keberhasilan" pawang hujan  pada kegiatan-kegiatan lain sebelumnya di Mandalika atau di tempat lain. Juga didasarkan pada fakta bahwa TMC juga tak selalu berhasil.
Dengan pilihan itu, maka terbangunlah sinergi antara pawang hujan yang tradisional dan non-saintifik (irrasional) dan balapan MotoGP yang modern dan saintifik di lintasan Sirkuit Mandalika. Â Kegiatan yang tradisi yang non-saintifik, pawang hujan, di situ diposisikan mengawal kegiatan modern yang saintifik, balapan MotoGP. Â
Pilihan itu boleh dikata sebagai inovasi bisnis yang sangat cerdas. Â Kehadiran pawang hujan itu tidak saja menjadi "pembeda" yang kuat untuk MotoGP Mandalika. Â Tapi juga menjadi "pencitra" (branding) yang kuat, bahkan sangat kuat, untuk MotoGP Mandalika.Â
Itu pembeda dan pencitra yang "sangat Indonesia". Â Sesuatu yang tak akan diikuti oleh helatan MotoGP di negara lain. Â Itu sudah menjadi trade mark MotoGP Mandalika.Â
Aksi pawang hujan  yang unik itu telah menjadikan Sirkuit Mandalika sebagai sirkuit MotoGP yang paling dibicarakan dan paling diingat di dunia.  Dari sisi pemasaran dan pencitraan, penghadiran aksi pawang hujan Rara itu jelas sebuah strategi yang sangat cerdas.  Untuk itu pihak MGPA dan ITDC layak mendapat pujian.
Sinergi yang Membangun Sukses MotoGP Mandalika
"It worked!' demikian cuitan @MotoGP (20/3/2022) menyambut meredanya hujan menyusul aksi pawang hujan Rara.
Pihak BMKG bisa saja mengklaim redanya hujan di Mandalika saat helatan MotoGP itu bukan berkat kerja pawang hujan. Â Tapi karena secara natural, sesuai perkiraan BMKG, durasi curah hujan sudah selesai. Â Jadi fakta aksi Rara dan fakta meredanya hujan itu bagi BMKG adalah sebuah koinsidensi, bukan suatu rangkaian sebab-akibat.
BMKG boleh jadi benar, tapi mungkin juga keliru, mengingat kerap juga prakiraan BMKG meleset. Â
Khalayak tak begitu perduli pada penjelasan saintifik BMKG, tapi lebih perduli pada sekuensi dua fakta. Â Setelah pawang hujan Rara beraksi (fakta terdahulu, sebab) dan fakta hujan reda (fakta kemudian, akibat). Â Hal itu kemudian dikuatkan oleh cuitan twitter @MotoGP: "It worked!"
Jadi, orang bebas memilih apakah akan meyakini (believe) kekuatan aksi irasional pawang hujan Rara, atau mempercayai (trust) kebenaran (truth) penjelasan rasional BMKG. Tak guna juga memperdebatkan atau mempertantangkan dua hal itu. Â Sebab keduanya berada pada ranah yang berbeda: pawang hujan di ranah keyakinan non-saintifik, sedang BMKG di ranah kebenaran/kepercayaan saintifik.
Tapi satu fakta yang tak terbantahkan, inovasi bisnis MGPA/ITDC untuk mensinergikan tradisi pawang hujan dan modernitas dan MotoGP telah sukses mengangkat nama dan citra MotoGP Mandalika dan Sirkuit Mandalika ke tataran dunia. Â
Jelas itu sebuah prestasi spektakuler untuk MGPA/ITDC, dan tentu saja Indonesia, yang baru pertama kali menyelenggarakan balap MotoGP yang prestisius itu.
Bravo tradisi, bravo modernitas! Bersinergilah untuk mengangkat Indonesia ke tataran yang lebih tinggi! (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H