MotoGP sepenuhnya adalah produk saintifik. Kebenarannya (truth) bisa dibuktikan secara empirik. Â Sebagai dasar untuk menerimanya sebagai hal yang dapat dipercaya (trust).
Modernisasi pada awalnya, atau sejak 1950-an, bersifat menegasikan tradisi, atau menolak dan membuang budaya (pemikran, kegiatan, perangkat) tradisional. Â Tradisi dinilai anti-kemajuan, karena itu harus disingkirkan. Caranya melalui jalur pendidikan saintifik. Â Aibatnya, pembangunan berparadigma modernisasi, seperti kini terjadi di Indonesia, kerap menimbulkan konflik antara pemerintah/swasta sebagai agen modernisasi dan komunitas adat sebagai pengampu tradisi.
Barulah sejak 1980-an muncul pemikiran dan kemudian upaya-upaya pinggiran membangun sinergi tradisi dan modernitas. Berdasar hasil-hasil studi kasus pada sejumlah kelompok etnik nusantara, antropolog Michael R. Dove (1985) misalnya menyimpulkan bahwa budaya tradisional dapat juga bersifat sinergis terhadap modernitas dalam proses pembangunan. Semisal tradisi panen tengkawang pada Dayak Punan bersifat supportif pada industri dan pasar global minyak tengkawang.
Sinergi Tradisi dan Modernitas di Mandalika
Secara ringkas bisa dikatakan tradisi dan modernitas itu berseberangan. Â Tradisi itu berbasis non-sains, irrasionalitas, Â sehingga hanya mungkin diyakini (belief). Sedangkan modernitas berbasis sains, rasionalitas, Â sehingga mungkin untuk menerima kebenaranannya (truth) dan mempercayainya (trust).
Dalam hal pengendalian curah hujan, konflik antara tradisi dan modernitas bisa dipahami lewat perbandingan pawang hujan dan teknologi modifikasi cuaca (TMC). Â Untuk merelokasi curah hujan, pawang hujan cukup membaca mantera dilengkapi dengan pernak-pernik alat dan bahan tertentu, semacam bawang, cabai, kembang, dan lain-lain. Â
Hal seperti itu lazim ditempuh untuk mengamankan acara di alam terbuka, semisal pesta nikah outdoor, seremoni peresmian bangunan, dan sepakbola. Â Pembukaan Asian Games 2018 di Jakarta konon menggunakan jasa pawang hujan juga.
Sementara TMC menggunakan teknologi penerbangan untuk menabur garam di satu titik di langit. Â Tujuannya membibitkan awan hujan di titik itu, sehingga tidak turun di lokasi yang ditargetkan bebas hujan. Â Hal seperti itu beberapa kali dilakukan BPPT dan TNI-AU untuk melokalisasi curah hujan diSelat Sunda atau Laut Jawa, sehingga tidak turun di Jakarta.
Sebenarnya, demi kelancaran helatan MotoGP Mandalika, pihak Mandalika Grand Prix Association (MGPA) dan Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC), bisa saja menerapkan TMC untuk merelokasi curah hujan sehingga tak turun di Sirkuit Mandalika. Tapi MGPA dan ITDC tidak menempuh opsi itu, tapi justru memilih penggunaan jasa pawang hujan Rara Isti Wulandari. Â
Itu ternyata bukan yang pertama. Â Pada sesi pra-musim (ujicoba lintasan) di Sirkuit Mandalika (11-13 Februari), jasa Rara juga sudah digunakan.
Jelas dalam kasus MotoGP Mandalika, untuk pengendalian cuaca, pihak MGPA dan ITDC lebih memilih opsi yang diyakini (believe) ketimbang yang teruji kebenarannya dan terpercaya (truth and trust). Hal itu didasarkan pada pengalaman "keberhasilan" pawang hujan  pada kegiatan-kegiatan lain sebelumnya di Mandalika atau di tempat lain. Juga didasarkan pada fakta bahwa TMC juga tak selalu berhasil.