Tanah Batak dikenal sebagai kawasan seribu tugu. Jika kita berkendara di lingkar luar Danau Toba, atau di lingkar dalam mengelilingi Pulau Samosir, maka pandangan mata akan tertumbuk pada tugu-tugu marga yang letaknya relatif berdekatan.Â
Sebagai contoh saja. Jika kita berkendara dari Porsea ke Balige di selatan, di Sitoluama menjelang Laguboti, di sebelah kanan jalan menjulang tugu Raja Pangaribuan. Keluar sedikit dari pusat kota Laguboti, sebelah kiri jalan, menjulang tugu Raja Hutapea.Â
Selanjutnya, menjelang kota Balige di sebelah kanan jalan, berdiri tugu Tuan Sihubil. Lalu di tengah kota, sebelah kiri jalan sebelum Onan Balige, berdiri tegak tugu Raja Sonakmalela.Â
Semua tugu itu, dengan segala kemegahannya, berdiri tegak menghadap jalan besar. Mereka menampakkan eksistensinya secara frontal dan terbuka  kepada orang-orang lewat. Â
Jika melihat kemegahan tugu-tugu itu, maka wajar orang bertanya-tanya seberapa besar biaya pembangunannya. Lalu, pertanyaan lebih mendasar, apa perlunya pembangunan tugu-tugu yang  megah itu.Â
Representasi Hamoraon, Hagabeon, dan Hasangapon
Tergantung ukuran dan kerumitannya, biaya pembangunan fisik satu tugu marga Batak mencapai miliaran rupiah dalam hitungan nilai uang sekarang. Sebagai contoh saja, biaya pembangunan Tugu Raja Siagian (2013) di Bonandolok, Balige diperkirakan Rp 3.6 miliar. Tugu Toga Aritonang (2014) di Muara mencapai Rp 5 miliar.Â
Ada yang lebih fantastis. Misalnya, baru-baru ini (2022) ada rencana pembangunan  Tugu Raja Sinurat di Sinarsabungan, Bonatua Lunasi Toba dengan perkiraan biaya Rp 20 miliar.
Itu belum termasuk biaya acara peresmian tugu yang bisa mencapai ratusan sampai miliaran rupiah. Kegiatannya bisa selama 3-7 hari, melibatkan perwakilan kelompok-kelompok populasi marga pemilik tugu sedunia. Belum lagi tiga unsur Dalihan na Tolu: hula-hula (pemberi istri), dongan tubu (kerabat semoyang), dan boru (penerima istri).
Tak salah jika orang kemudian mengaitkan tegaknya suatu tugu dengan "kebesaran" suatu marga. "Kebesaran" dalam ukuran capaian tiga nilai eksistensial orang Batak: hamoraon, hagabeon, hasangapon -- kekayaan, keturunan, kemuliaan.Â
Hanya marga yang anggotanya memiliki kekayaan besar, keturunan banyak, dan kemuliaan tinggi yang dapat membangun tugu megah untuk marga atau leluhur marganya.
Bisa dikatakan, tugu marga orang Batak adalah representasi hamoraon, hagabeon, dan hasangapon dari suatu kelompok marga Batak. Semakin megah dan mewah tugunya, berarti pertanda semakin mora, gabe, dan sangap kelompok marga pemiliknya.
Logikanya seperti itu karena biaya pembangunan tugu ditanggung oleh seluruh anggota suatu kelompok marga di seluruh dunia. Pengumpulan dana dilakukan dengan cara toktok ripe, semacam iuran dari tiap anggota marga,  dan sumbangan khusus anggota  yang sukses secara sosial-ekonomi.
Proses pengumpulan dana pembangunan tugu semacam itu berpedoman pada umpasa, ungkapan Batak, "Raja urat ni uhum, arta urat ni hosa, naposo urat ni gogo." Â Artinya: Penguasa sumber hukum, harta (pengusaha, orang kaya) sumber (biaya) kehidupan, orang muda (orang kebanyakan) sumber tenaga.Â
Intinya anggota marga yang jadi penguasa dan pengusaha diharapkan memberi lebih. Sedangkan anggota marga yang tergolong biasa memberi sesuai kesepakatan jumlah iuran, toktok ripe.
Karena itu, suatu tugu marga di Tanah Batak selalu diasosiasikan dengan anggota marga itu yang menjadi tokoh sosial-politik dan ekonomi tingkat nasional. Â Demikianlah, sebagai contoh, Tugu Si Raja Panggabean di Siatas Barita, Tarutung mengingatkan pada Jenderal Maraden Panggabean. Â
Begitu juga, Tugu Raja Panjaitan di Onan Raja, Balige mengingatkan pada Mayjen D.I. Panjaitan, Letjen Sintong Panjaitan, dan Jenderal Luhut B. Panjaitan. Tugu Raja Simanihuruk di Pangururan Samosir mengingatkan pada  Mayjen A.E Manihuruk. Tugu Toga Raja Sitorus di Sibisa, Toba mengingatkan pada pengusaha nasional D.L. Sitorus.
Artefak Modern Genealogi Batak Toba
Kemegahan dan kemewahan tugu marga Batak, dan biaya fantastis untuk pembangunannya, bisa dikatakan sebagai nilai manifes utama. Â Nilai yang dipertontonkan, untuk mengumumkan eksistensi marga, yaitu hamoraon, hagabeon, dan hasangapon-nya.
Di balik nilai manifes itu, ada nilai laten tak banyak disadari tapi justru menjadi nilai inti pada suatu tugu marga. Â Nilai yang saya maksud adalah statusnya sebagai artefak modern genealogi Batak Toba. Â
Artefak dipahami di sini sebagai wujud  fisik (karya) kebudayaan, yang mengandung sejumlah nilai (ide) pada dirinya.Â
Nilai tugu sebagai artefak modern genealogi Batak itu menunjuk pada kepastian eksistensi sosial suatu kelompok marga. Sekurangnya kepastian tentang, pertama,  golat atau wilayah kerajaan marga; kedua,  tarombo atau silsilah vertikal dan horizontal sebagai basis kesatuan marga; dan ketiga, padan atau perjanjian leluhur yang menjadi pedoman kehidupan sosial suatu marga.Â
Satu: Tegaknya satu tugu marga adalah pernyataan keadaulatan marga atas suatu wilayah tanah.
Setiap tugu marga pasti berdiri di atas tanah yang merupakan bagian dari golat, bentang tanah yang menjadi wilayah kekuasaan marga tersebut sedari awal keberadaannya.Â
Sederhananya, suatu tugu marga selalu berdiri di huta, kampung asli di mana marga tersebut menjadi marga raja, marga yang berdaulat.
Tugu marga adalah penanda golat, wilayah kerajaan. Karena itu tidak mungkin ada Tugu Toga Sinaga ada di Balige karena huta-nya adalah Urat, Palipi-Samosir. Â Tak mungkin juga ada Tugu Raja Hutapea di Sianjurmula-mula, Samosir karena daerah itu adalah huta marga Limbong dan Sagala.Â
Tugu Raja Sonak Malela bisa menjadi contoh penanda golat yang tegas. Â Tugu itu menegaskan bahwa Balige -- sekarang kota Balige -- adalah huta kerajaan Sonak Malela, generasi keenam orang Batak, putra Raja Sibagot ni Pohan.Â
Golat Balige kemudian diwariskan Raja Sonak Malela kepada empat orang anaknya, yaitu Simangunsong, Marpaung, Napitupulu, dan Pardede. Â
Keempat marga itulah kini yang menjadi marga raja yang berdaulat di pusat kota Balige. Marga Napitupulu berkampung di Kelurahan Napitupulu Bagasan, Pardede di Kelurahan Pardede Onan, Marpaung di Lumbanbulbul, dan Simangunsong di Balige I.Â
Tentu ada juga marga-marga lain, umumnya masih keturunan Sibagot ni Pohan, yang tinggal di situ. Mereka bukan marga raja di situ, tapi di lingkar luar Balige.
Dua: Tegaknya satu tugu marga adalah pernyataan kesepakatan atas suatu silsilah marga.
Tugu marga dikatakan sebagai simbol kesatuan dan persatuan suatu marga. Â Hal itu bermakna seluruh anggota marga sudah sepakat tentang suatu sejarah dan urutan silsilah mereka baik secara vertikal (generasi) maupun horizontal (perkerabatan).
Jika silsilah itu tak disepakati, maka tugu yang dibangun tidak mencerminkan nilai kesatuan/persatuan.
Kasus pembangunan Tugu Toga Raja Sitorus di Sibisa bisa menjadi contoh. Sebelum tugu itu diresmikan (1983), marga Sitorus -- Pane, Dori, Boltok kakak-beradik -- memastikan dulu marga apa tulang atau pamannya (Sagalaraja), marga apa hula-hulanya (Borbor),  marga apa dongan tubu-nya (Sirait dan Butar-butar, sesama anak Raja Mangatur), dan marga apa boru-nya (Tampubolon, Hutapea, Nadapdap).
Setelah semua marga-marga yang disebutkan itu sepakat dengan statusnya, barulah tugu dapat diresmikan melalui upacara adat. Semua pihak hadir dan dengan itu menyatakan kepastian tentang silsilah mereka, juga hubungan-hubungan kekerabatan antara mereka dalam konteks struktur Dalihan na Tolu.
Setiap tugu marga selalu menyatakan silsilah dan juga jumlah generasi marga itu.  Ambil contoh Tugu Toga Sinaga di Urat, Palipi, Samosir.  Bentuk tugu berupa segitiga sama kaki melambangkan tiga ompu (Sitolu Ompu, kakek) marga Sinaga, ketiganya anak Raja Sinaga, yaitu Bonor, Ratus, dan Uruk.
Lalu jumlah 9 anak tangga melambangkan sembilan ama (Sisia Ama, ayah) marga Sinaga. Â Masing-masing tiga dari Sinaga Bonor (Pande, Tiang Nitonga, Suhut Nihuta), Sinaga Ratus (Nagodang, Sitinggi, Siongko), dan Sinaga Uruk (Hatahutan, Sibarita, Datuhurung).
Silsilah itu dituliskan di dinding belakang tugu, sehingga setiap marga Sinaga yang datang ke sana bisa menarik garis silsilahnya sendiri. Sekaligus menghitung dia masuk generasi keberapa.Â
Saat tugu itu dibangun (1966-1970), marga Sinaga sudah mencapai generasi ke-17, dilambangkan dengan tinggi tugu 17 meter. Raja Sinaga sendiri, anak Si Raja Lontung, cucu Sariburaja adalah generasi kelima orang Batak.
Tiga: Tegaknya satu tugu marga adalah pernyataan kepatuhan pada norma sosial yang diamanatkan leluhur.
Tegaknya satu tugu marga adalah komitmen kepatuhan warga kelompok marga itu pada norma sosial, adat atau hukum, atau padan (perjanjian) yang diamanatkan leluhur.Â
Sebab ada umpasa Batak mengatakan, "Tuat na dolok martungkothon sialagundi, adat manang uhum pinungkani sijolotubu diihuthon na parpudi." Artinya, "Turun dari bukit bertongkat legundi, adat dan hukum warisan leluhur dipatuhi keturunannya."
Norma sosial itu terbaca pada tugu baik secara simbolik maupun tekstual. Norma-norma simbolik bisa terbaca pada relief tugu, semisal relief pada tugu Sonak Malela di Balige dan Tugu Raja Silahisabungan di Silalahi, Dairi. Relief-relief itu menggambarkan peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah hidup leluhur.
Teks norma pada Tugu Sonak Malela dan Tugu Silahisabungan mengingatkan agar keturunan mereka senantiasa saling mengasihi dan saling mendukung. Pantang ada permusuhan dan saling menjatuhkan. Perselisihan harus diselesaikan dalam lingkup kerabat sendiri.
Pada tugu Raja Silahisabungan, amanat norma itu, berupa padan, Â terkait dengan sejarah genealogis Silahisabungan. Silahisabungan bermigrasi dari Baligeraja (Balige) menyusul perselisihan dengan abangnya, Raja Sibagot ni Pohan (ayah Sonak Malela).Â
Raja Silahisabungan tidak ingin kedelapan anak lakinya -- tujuh anak dari istri pertama, Pinggan Matio dan satu anak dari istri kedua, Boru Nailing -- mengalami konflik antar saudara seperti yang telah dialaminya.Â
Nasihat norma itu disebut Poda Sagu-sagu Marlangan (ada simbol boneka manusia terbuat dari kue sagon)Â Â . Nasihat untuk selalu hidup damai dan saling mengasihi. Barang siapa melanggarnya, akan terkena tulah tak mendapat keturunan.
Potensi Wisata Sejarah Genealogi Batak
Tahun 1970-an, jika melintas di jalan raya Trans-Sumatera dari Parapat ke Tarutung, saya selalu terkagum-kagum melihat kemegahan tugu-tugu marga sepanjang kiri-kanan jalan. Tak ada hal lain dalam benakku waktu itu kecuali membayangkan betapa mahal biaya pembangunannya.
Sekarang, saya mengerti betapa tugu-tugu mahal itu sejatinya adalah artefak budaya Batak, khususnya artefak genealogi, yang memberi informasi pasti tentang nilai hamoraon-hagabeon-hasangapon, kepastian tentang golat marga raja, silsilahnya, dan norma sosial yang menjadi pedoman hidup.
Tugu-tugu marga Batak adalah artefak budaya modern, sebagaimana juga candi-candi di Jawa adalah artefak budaya dari zaman lampau. Seperti halnya candi-candi itu, tugu-tugu marga Batak sehatinya menyimpan potensi wisata budaya dan sejarah juga. Â Secara khusus sejarah genealogi orang Batak.
Beberapa tugu sebenarnya sudah menjadi obyek wisata. Semisal  Tugu Raja Panggabean, Tugu Raja Silahisabungan, dan Tugu Aritonang. Tapi masih terbatas pada wisata ziarah bagi marga-marga "pemilik" tugu. Kekecualian pada Tugu Aritonang dan Tugu Silahisabungan yang menyajikan pemandangan indah ke hamparan Danau Toba.
Semestinya, potensi budaya adat Batak, semacam adat mangongkal holi, menggali belulang leluhur bisa juga ditawarkan. Tugu Ompu Landit Manihuruk, leluhur Letjen A.E. Manihuruk, mantan Kepala BAKN, di Lumban Suhi-suhi Samosir punya potensi itu. Di samping tugu  ada areal pemakaman biasa. Bila waktunya sudah tiba, makam akan dibongkar, lalu belulang dipindah ke dalam tugu. Itu adalah upacara adat langka yang layak menjadi atraksi wisata budaya.Â
Pada akhirnya terpulang pada marga-marga pemilik tugu. Apakah akan membiarkan tugu-tugu mahal itu menjadi artefak pajangan yang akan habis dimakan waktu? Atau melihatnya sebagai artefak pembelajaran yang menyebarkan pengetahuan tentang genealogi Batak dan warisan nilai-nilai hidup orang Batak? (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H