Norma sosial itu terbaca pada tugu baik secara simbolik maupun tekstual. Norma-norma simbolik bisa terbaca pada relief tugu, semisal relief pada tugu Sonak Malela di Balige dan Tugu Raja Silahisabungan di Silalahi, Dairi. Relief-relief itu menggambarkan peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah hidup leluhur.
Teks norma pada Tugu Sonak Malela dan Tugu Silahisabungan mengingatkan agar keturunan mereka senantiasa saling mengasihi dan saling mendukung. Pantang ada permusuhan dan saling menjatuhkan. Perselisihan harus diselesaikan dalam lingkup kerabat sendiri.
Pada tugu Raja Silahisabungan, amanat norma itu, berupa padan, Â terkait dengan sejarah genealogis Silahisabungan. Silahisabungan bermigrasi dari Baligeraja (Balige) menyusul perselisihan dengan abangnya, Raja Sibagot ni Pohan (ayah Sonak Malela).Â
Raja Silahisabungan tidak ingin kedelapan anak lakinya -- tujuh anak dari istri pertama, Pinggan Matio dan satu anak dari istri kedua, Boru Nailing -- mengalami konflik antar saudara seperti yang telah dialaminya.Â
Nasihat norma itu disebut Poda Sagu-sagu Marlangan (ada simbol boneka manusia terbuat dari kue sagon)Â Â . Nasihat untuk selalu hidup damai dan saling mengasihi. Barang siapa melanggarnya, akan terkena tulah tak mendapat keturunan.
Potensi Wisata Sejarah Genealogi Batak
Tahun 1970-an, jika melintas di jalan raya Trans-Sumatera dari Parapat ke Tarutung, saya selalu terkagum-kagum melihat kemegahan tugu-tugu marga sepanjang kiri-kanan jalan. Tak ada hal lain dalam benakku waktu itu kecuali membayangkan betapa mahal biaya pembangunannya.
Sekarang, saya mengerti betapa tugu-tugu mahal itu sejatinya adalah artefak budaya Batak, khususnya artefak genealogi, yang memberi informasi pasti tentang nilai hamoraon-hagabeon-hasangapon, kepastian tentang golat marga raja, silsilahnya, dan norma sosial yang menjadi pedoman hidup.
Tugu-tugu marga Batak adalah artefak budaya modern, sebagaimana juga candi-candi di Jawa adalah artefak budaya dari zaman lampau. Seperti halnya candi-candi itu, tugu-tugu marga Batak sehatinya menyimpan potensi wisata budaya dan sejarah juga. Â Secara khusus sejarah genealogi orang Batak.
Beberapa tugu sebenarnya sudah menjadi obyek wisata. Semisal  Tugu Raja Panggabean, Tugu Raja Silahisabungan, dan Tugu Aritonang. Tapi masih terbatas pada wisata ziarah bagi marga-marga "pemilik" tugu. Kekecualian pada Tugu Aritonang dan Tugu Silahisabungan yang menyajikan pemandangan indah ke hamparan Danau Toba.
Semestinya, potensi budaya adat Batak, semacam adat mangongkal holi, menggali belulang leluhur bisa juga ditawarkan. Tugu Ompu Landit Manihuruk, leluhur Letjen A.E. Manihuruk, mantan Kepala BAKN, di Lumban Suhi-suhi Samosir punya potensi itu. Di samping tugu  ada areal pemakaman biasa. Bila waktunya sudah tiba, makam akan dibongkar, lalu belulang dipindah ke dalam tugu. Itu adalah upacara adat langka yang layak menjadi atraksi wisata budaya.Â