Di Buleleng Bali, setiap perayaan Galungan, ada tradisi memunjung. Selepas sembahyang di Pura, keluarga-keluarga berziarah ke makam membawa pujung, sajen untuk mendiang, sekaligus makan bersama di situ.
Di Pamekasan, Madura ada tradisi sarwaan. Selepas panen, jelang musim kemarau, warga beramai-ramai ziarah ke kuburan leluhur, mengadakan tahlil dan makan bersama di sana.
Itu untuk menyebut beberapa contoh saja. Di Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua mungkin ada juga ritus-ritus sejenis.
Jadi, orang Batak (Toba) tidak sendirian dalam urusan ziarah sambil makan bersama di kuburan leluhur atau anggota keluarga. Itu tergolong tradisi yang dipelihara dalam berbagai komunitas etnik nusantara.
Satu Contoh dari Tanah Batak
Pada orang Batak Toba di Tanah Batak sana, tradisi makan bersama biasa dilakukan setelah Hari Natal atau Tahun Baru. Hal itu dilakukan sebagai bagian dari ziarah bersama ke kubur orangtua atau leluhur.Â
Dalam masyarakat Batak, Natal dan Tahun Baru adalah momen kumpul keluarga besar di rumah kakek/nenek. Anak-anak dan cucu-cucu kumpul semua.Â
Jika kakek dan atau nenek sudah meninggal, maka momen kumpul keluarga itu sekaligus dimanfaatkan untuk ziarah kubur dan makan bersama.
Untuk memberi gambaran, saya akan beri contoh satu momen makan bersama keluarga Poltak (pseudonim FT) pada 2 Januari 1980, hari kedua Tahun Baru.
Pada hari itu anak-anak dan cucu-cucu kakek (mendiang) dan nenek Poltak berkumpul di rumah kakek Poltak di kampung Panatapan. Mereka merayakan Tahun Baru bersama. Hadir pula kakek-nenek Poltak nomor dua dan nomor lima. Kakek Poltak adalah anak sulung.
Telah disepakati hari itu keluarga akan berziarah ke makam kakek Poltak sekaligus makan bersama di situ.Â
Hidangan telah disiapkan sejak pagi hari. Seekor anak babi gemuk telah disembelih dan diolah menjadi saksang, tanggo-tanggo, dan sira-pege (panggang, bumbu garam, jahe, cabai, dan bawang merah mentah). Nasi putih pulen telah tanak. Kopi telah diseduh dan dituang ke dalam termos.