Suatu hari Poltak secara tak sengaja mendengar ibu-ibu bergosip. Â Seorang ibu berkata, "Elu sih enak, laki elu kerja. Lha, laki gue, nganggur, tidur mulu kayak kucing."Â
Ah, Poltak ingat kini. Sejak hari itulah kucing belang tadi pindah lokasi rehat dari atap rumah tetangga ke pekarangan rumahnya.
Kuping kucing memang jauh lebih tipis dari kuping manusia. Masuk akal kiranya jika kucing belang itu merasa gak nyaman digosipin.Â
Sekarang itu kucing  masih dibandingkan dengan suami pengangguran. Besok-besok, bisa jadi dibandingkan dengan pebinor, garong, dan koruptor. Atau eongannya dibilang mirip gonggongan anjing.
Kucing mana yang tahan digosipin separah itu. Mending pindah ke tempat lain, deh.
Poltak sempat menaruh harapan pada kucing belang itu.  Pikirnya, bisalah untuk memburu atau menakuti  tikus yang gemar begadang di pekarangan rumah. Agar pekarangan bebas dari tikus.
Sebenarnya Poltak bisa saja memberantas sendiri tikus-tikus itu. Â Pakai perangkap dan atau racun. Itu sudah terlalu sering dilakukannya.Â
Tapi kini dia sudah tiba pada titik jenuh. Dia kehilangan nafsu membunuh tikus. Lagi pula,dia tak ingin menghabiskan sisa usianya sebagai pembunuh tikus. Gak keren banget!
Tapi manusia memang pantang menaruh harapan pada hewan. Kucing belang itu ogah memburu, atau sekurangnya menakuti, tikus-tikus yang hilir-mudik di pekarangan.Â
Kucing sialan itu lebih memilih malas-malasan tidur beralaskan karpet kaki di depan pintu. Pantaslah dia digosipin ibu-ibu se-Gang Sapi serupa dengan suami pengangguran.
Lebih sialan lagi, kucing itu merontokkan bulu-bulunya di atas karpet kaki. Â Itu membuat Berta uring-uringan. Bulu-bulu itu katanya bisa jadi wahana penyebaran parasit toksoplasma. Bahaya banget itu.