Engkong Felix menjalani swab antigen pada hari Selasa, 13 Februari 2022, yang lalu. Itu tes yang kedua kalinya sejak pandemi Covid 19 melanda Indonesia awal 2020.Â
Kali pertama, Rapid Test di awal tahun 2021. Itu syarat naik KA Tegal Ekspres dari Stasiun Senen sampai Stasiun Cikampek (harga tike Tegal).
Sepanjang masa pandemi, Engkong memang sedapat mungkin menghindari  tes Covid 19. Tapi ketat menjalankan prokes Covid-19. Alasan yang mengemuka, "Tes Covid-19 mahal banget!"Â
Apalagi tes PCR. Seorang kerabat Engkong pernah membayar untuk tes itu Rp 900,000. Hanya supaya dia boleh naik lift dari lantai-1 ke lantai-12 sebuah rumah sakit. Untuk membesuk saudaranya yang rawat inap di situ.
Pikirkanlah uang Rp 900,000 itu. Dengan uang segitu kamu bisa naik pesawat dari Soetta Tangerang sampai Juanda Surabaya. Atau naik pesawat pergi-pulang Soetta - Radin Intan Lampung. Gak cuma buat naik lift dari lantai-1 ke lantai-12 di sebuah rumah sakit.Â
Tapi itu cuma alasan formal, sih.
Alasan sesungguhnya, Engkong Felix telah diracuni Ivan Illich dengan gagasan pemulihan kedaulatan individu atas status kesehatan.Â
Dalam buku Medical Nemesis (Pantheon, 1982) Illich menhelaskan  bahwa dunia medis sudah menjadi kuasa birokratis. Dia telah merampas kedaulatan individu untuk menilai dan menentukan sendiri status kesehatannya.
Katanya, dunia medis telah tumbuh menjadi semacam dewa yang berwewenang mutlak menentukan "kamu sehat" atau "kamu sakit".
Engkong Felix sedang berjuang menegakkan kedaulatannya di bidang kesehatan. Kedaulatan atas tubuhnya sendiri. Menentukan sendiri apakah sakit atau sehat. Menolak ketergantungan pada hasil tes medis.
Pandemi Covid-19 tak mengubah upaya penegakan kedaulatan itu. Â Prinsip Engkong Felix, sepanjang menjalankan prokes Covid-19 secara disiplin, dan menerima vaksinasi, maka atas perkenan Tuhan, dia akan sehat-sehat saja. Yang penting, jangan pernah takabur.
Tapi memang ada kalanya prinsip terpaksa dilanggar. Sebab di luar kuasa diri. Itulah yang terjadi pada hari Selasa, 13 Februari 2022.
Pagi itu Engkong Felix harus bertemu untuk diskusi dengan Dirut perusahaan tempat dia kerja paruhwaktu. Sebenarnya Engkong sudah pensiun, karena sudah lansia. Tapi masih tetap diajak untuk ikut kerja dengan teman-teman muda.Â
Di tengah orang-orang muda itu, Engkong serasa Ben Whittaker  (Robert De Niro), pensiunan tua (70 tahun), dalam film Intern (2015). Ben diterima jadi tenaga magang di perusahaan online shop "About the Fit", yang diawaki kaum milenial, termasuk direkturnya Jules Ostin (Anne Hathaway).Â
Ben menunjukkan kehadiran seorang "kolonial" mapan sangat diperlukan di tengah kaum milenial. Untuk mengatasi berbagai persoalan yang lahir dari labilitas kaum milenial itu sendiri. Termasuk persoalan Jules Ostin, atasan cantik yang ambisius itu.Â
Kabar buruknya, Engkong Felix bukan Ben Whittaker dan atasan Engkong juga bukan Jules Ostin. Â
Atasan Engkong seorang lelaki paruh baya. Kemana-mana dia setia membawa sebuah pisang dan dua butir telur. Itu persis sama dengan bawaan Engkong. Bakalan ape, coba.
Begitu Engkong masuk ruangan Dirut, seorang perempuan bermasker menghadang. "Swab antigen dulu, Pak," katanya.Â
Rupanya pagi itu, siapa saja yang hendak bertemu Dirut, harus tes swab antigen Covid-19 dulu. Â Kalau hasilnya negatif, baru boleh ketemu.
Langkah itu harus ditempuh karena kantor baru selesai masa  lock-down 3 hari. Pasalnya, seminggu sebelumnya kantor mengadakan acara di kantor lapangan di Subang.  Sepulang dari situ, sejumlah karyawan diidentifikasi terpapar Omicron.Â
Dengan sigap perempuan petugas swab antigen itu mencolokkan dua batang dacron ke dua lubang hidung Engkong. Â Secara bergantian, tentu saja. Â Setelah itu dia melakukan tes sampel lendir hidung.
"Ini, ya, Pak. Hasil swab antigen Bapak, negatif," kata petugas itu beberapa menit kemudian. Sambil menunjukkan hasilnya.
"Nah, kita boleh diskusi," kata Dirut. Â Sebab hasil swab antigennya juga negatif. Â
Maka jadilah Dirut dan Engkong Felix gayeng diskusi seputar isu-isu strategis perusahaan. Kata Dirut diskusi itu off the record. Karena itu isinya tak bisa Engkong ceritakan di sini.
Selepas diskusi, Engkong berbagi pesan kepada rekan-rekan di grup perpesanan. Antara lain soal pencolokan dua lubang hidung oleh perempuan petugas swab itu. Â Inilah pangkal keriuhannya.
Seorang teman, kebetulan dokter gigi, Â menilai perempuan petugas swab itu terlalu bernafsu pada kedua lubang hidung Engkong. Eh busyet! Baru tahu kalau perempuan bisa bernafsu lihat lubang hidung lelaki lansia.Â
"Harusnya cukup mencolok satu lubang hidung saja," kata rekan dokter gigi itu. Â
Tapi apa pula dasarnya Engkong percaya pada omongan seorang dokter gigi tentang lubang hidung. Â Lubang hidung itu kan keahlian dokter spesialis Telinga, Hidung, dan Tenggorokan (THT). Â Dokter gigi tahunya ya gigi, dan lubang di gigi.
Okelah. Tapi mengapa swab antigen perlu pencolokan kedua lubang hidung?Â
"Untuk akurasi sampel," kata perempuan petugas swab tadi, saat hal itu Engkong tanyakan. Â
Alasan yang logis. Memang mungkin saja konsentrasi virus korona lebih tinggi di satu lubang hidung dibanding satunya lagi. Â Atau colokan dacron di salah satu lubang gagal mendapatkan sampel layak tes. Â
Di perjalanan pulang ke rumah, sambil nyetir mobil lansia, pikiran anarkis Engkong mulai kambuh. Soal pencolokan dua lubang hidung itu, mungkin juga ada kaitannya dengan asal-usul virus corona yang menjangkiti. Â
Kalau berasal dari China atau Rusia, virus mungkin akan memilih masuk ke lubang hidung kiri (kaum kiri). Â Kalau sampel lendir diambil dari lubang kanan, maka hasilnya akan negatif. Â Padahal sejatinya positif.
Sebaliknya kalau virus itu berasal dari Amerika Serikat, Eropa Barat, atau Australia, mungkin dia akan memilih masuk ke lubang hidung kanan (kaum kanan). Â Kalau sampel diambil dari lubang kiri, maka hasilnya akan negatif. Padahal sudah positif.
Sebab kedua kubu itu, kiri yang sosialis dan kanan yang kapitalis, dari sananya memang senantiasa saling tipu, saling risak, dan saling celakai.
Idealnya, sampel lubang kanan dan kiri hidung adalah sama-sama negatif, atau sebaliknya sama-sama positif. Â Sebab kalau lubang yang satu positif dan satunya lagi negatif, berarti itu bukan lubang hidung tapi colokan listrik. Â
Levensgevaarlijk, hooghspanning! (eFTe)
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H