"Apa lagi, Poltak."
"Santabi, Gurunami. Â Usul, Gurunami. Â Jangan orangtua yang menyediakan biayanya. Â Tapi kami, murid-murid sendirilah yang mencari biayanya."
"Bah, belagak pula kau, Poltak. Â Macam sudah bisa saja cari uang kau!" Â Jonder berteriak protes.
"Macam manalah cara kau dapat duit, Poltak?" tanya Alogo dengan nada sinis.
"Sudah, diam dulu." Guru Arsenius menenangkan para murid. "Usulmu menarik, Poltak. Â Bisa kau jelaskan caranya?"
"Banyak caranya, Gurunami. Bisa ikut jual rumput ke pemborong lapangan golf di Parapat. Â Jual kayu bakar ke toke soban. Jual buah makadamia ke dinas kehutanan. Menangkap ikan Batak di sungai untuk dijual. Menjajakan gula-gula di sekolah atau pesta adat. Asalkan mau, pasti ada jalan, Gurunami."
Poltak tidak sedang membual.  Usulannya berdasar pengalaman sendiri. Binsar, Bistok, dan dia sudah beberapa kali menjual buah makadamia ke dinas kehutanan. Menjual kayu bakar ke toke soban, kayu bakar.  Membungkus bibit pinus di pesemaian dinas kehutanan. Bahkan dia sendiri pernah menjajakan gula-gula, bersaing dengan Berta, di sekolah.
"Anak-anak, usul Poltak masuk akal," kata Guru Arsenius. "Mulai hari ini, Pak Guru minta, setiap murid harus berusaha mencari uang sendiri untuk biaya darmawisata. Beritahu itu kepada orangtua masing-masing. Setuju, ya."
"Setuju, Gurunami," jawab murid-murid serempak. Â
Tapi kali ini diimbuhi dengan sungut-sungut. "Bah, gara-gara Si Poltak ini." "Dipikir mudah cari duit?" "Anak sekolah disuruh cari uang." "Apa gunanya orangtua." "Awas kau Poltak."
"Poltak. Kau bikin susah saja." Jonder berbisik keras dari bangku di sebelah kiri Poltak.