Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Tempat Jin Buang Anak", Frasa yang Merendahkan Kalimantan Timur

26 Januari 2022   12:04 Diperbarui: 26 Januari 2022   15:19 755
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemedsos Edy Mulyadi (EM) terbelit kasus ujaran "tempat jin buang anak". Lantaran dia menyebut IKN Nusantara berada di "tempat jin buang anak".  Warga Kaltim merasa terhina daerah mereka dilabeli seperti itu. Mereka lantas mengadukan EM kepada polisi, sekalian menuntutnya minta maaf secara terbuka.

EM sudah minta maaf tapi dialasi dengan argumen cacat logika  yang -- karena cacat itu --  justru menegasikan permohonan maafnya. Katanya, frasa "tempat jin buang anak" itu tidak menghina. Itu idiom orang Jakarta untuk mengidentifikasi suatu tempat yang terpencil jauh.  

Dia memberi contoh Bumi Serpong Damai (BSD), Tangerang. Dulu, katanya, dipandang dari titik Monas, Jakarta Pusat, BSD itu "tempat jin buang anak".  Tapi sekarang tidak lagi. 

Saya akan tunjukkan tiga cacat logika pada argumen pengalas permohonan maaf EM itu. Cacat logika itu sekaligus menunjukkan bahwa frasa "tempat jin buang anak" itu memang bermakna merendahkan status suatu tempat, lokasi atau daerah. Tak perduli itu diujarkan secara bercanda, marah, atau serius.

Penggunaan argumen "orang-orangan sawah" (strawman argument). 

Frasa "tempat jin buang anak" itu sejatinya merujuk terutama pada keadaan, bukan jarak geografis suatu tempat.  Keadaan yang dimaksud adalah ketaklaikan tempat itu sebagai hunian manusia.  

Bayangkanlah suatu tempat yang bahkan jin pun tidak sudi tinggal di situ.  Cuma dijadikan tempat pembuangan "anak jin" yang disamakan dengan sampah. Dengan begitu, maka "tempat jin buang anak" identik dengan "tempat pembuangan sampah".

Tapi EM kemudian menyimpangkan pemaknaan "tempat jin buang anak" pada dimensi jarak, yaitu keterpencilan atau jarak yang "sangat jauh". Di situ EM telah mengajukan argumen orang-orangan sawah. Pengalihan dari makna sejati ke makna palsu.

Begini. Dimensi jarak, semisal "terpencil jauh", bukan penciri inheren pada status "tempat jin buang anak".  Pada contoh BSD yang diberikan EM, ciri "keterpencilan" itu palsu. Dia bisa terbawa benar jika, dan hanya jika, pada saat bersamaan lokasi BSD memang tidak laik huni bagi manusia. Jika faktanya laik huni, sekalipun tempatnya jauh, maka label "tempat jin buang anak" jelas bermakna merendahkan.

Untuk lebih jelasnya, simak contoh berikut. Seorang karyawan pertambangan dipindahkan dari Jakarta ke Tembagapura, sebuah kota kecil eksklusif yang terpencil jauh di pedalaman Papua sana. 

Apakah akan dikatakan karyawan itu pindah ke "tempat jin buang anak"? Pasti tidak. Sebab Tembagapura memiliki syarat "kota bahagia" yang jauh lebih baik dibanding Jakarta.

Dulu memang ada daerah di luar Jawa yang sempat dilabeli "tempat jin buang anak". Itulah lokasi-lokasi transmigrasi di tengah hutan Sumatera dan Kalimantan yang tak dipersiapkan sebagai pemukiman layak huni. Bukan karena tempatnya jauh dari Jawa, tapi karena kondisi ketaklaikan itu.

Sekarang coba bandingkan dengan kondisi berikut. Di belakang sebuah kampung di Jakarta ada sebidang tanah yang menghutan tak terurus. Itu juga disebut "tempat jin buang anak". Karena kondisinya yang menghutan, seolah tak terjamah manusia. Padahal masih di dalam kota Jakarta.

Dengan mengajukan argumen orang-orangan sawah itu, EM bermaksud mengatakan dirinya tak salah. Tapi argumennya itu cacat logika, sehingga justru memperparah kesalahannya.

Paraleĺisme antara Dua Hal yang Tak Setara

Ketika EM memberi contoh "Monas - BSD ", maka dia sebenarnya sedang berbicara tentang perpindahan manusia ke tempat baru. Sementara "Jakarta - IKN Nusantara" bukan soal perpindahan manusia, melainkan perpindahan IKN. 

Jelas IKN dan BSD tak setara. EM telah mereduksi, dengan kata lain merendahkan, nilai IKN Nusantara sebagai sebuah  pusat pemerintahan nasional menjadi setingkat pemukiman lokal.

Sebuah IKN yang baru sudah pasti dibangun dengan standar kota terbaik, sehingga pasti layak huni untuk manusia. Dengan begitu, pertanyaan "Siapa yang mau tinggal di IKN Nusantara" adalah pertanyaan dungu. Apalagi jika dijawab sinikal: "Gendoruwo, kuntilanak, monyet". 

Begini. Berbeda dengan keputusan seseorang pindah ke BSD yang bersifat individual, keputusan ubtuk pindah ke IKN Nusantara bersifat institusional. Karena itu jelas kelompok sosial pertama yang akan pindah ke sana adalah seluruh pegawai pemerintah pusat. Betul, seluruhnya, kecuali mereka yang memilih mundur atau pensiun dini.

Prasarana dan sarana pemukiman dan kerja di sana sudah pasti pula memadai. Aneka kebutuhan primer, sekunder, dan tersier sudah lengkap tersedia, baik lewat jalur penerintah maupun swasta.  Sebab jika tidak begitu, maka sama saja melumpuhkan IKN.

Sudah pasti tidak ada penduduk biasa Jakarta, non-pegawai pemerintah pusat, yang akan ikut pindah ke sana. Tak ada alasan untuk itu. Hidup mereka kan di Jakarta.  Kecuali memang ada yang hendak mengadu nasib, cari kerja atau buka usaha baru di sana.

Cara Pandang Bias-Jakarta 

EM menggunakan cara pandang bias-Jakarta untuk menilai IKN Nusantara di Kalimantan. Dia memposisikan diri sebagai orang Jakarta yang masih berstatus DKI, sehingga daerah mana saja di luar Jawa pasti dipersepsikan "jauh" atau "terpencil".

Karena pandangan bias-Jakarta itu berada dalam konteks  struktur "pusat-pinggiran" (center-pheriphery), maka dengan sendirinya status IKN Nusantara (pinggiran) telah dipersepsikan lebih rendah dari Jakarta (pusat). 

Pandangan bias-Jakarta semacam itu adalah wujud inersia sosial, kesadaran untuk tetap bertahan di Jakarta dan mempertahankan statusnya sebagai DKI. Hal itu mencerminkan ketakutan akan kehilangan berbagai keuntungan atau keunggulan sebagai warga Jakarta, jika IKN pindah ke Kaltim.

Sekurang-kurangnya, orang seperti EM akan kehilangan akses langsung kepada tokoh-tokoh politik nasional dan mungkin sejumlah birokrat pemerintah pusat. Dengan kata lain, jaringan sosial-politik atau modal politiknya terpangkas.

Jelas bahwa pelabelan IKN Nusantara sebagai "tempat jin buang anak" bersifat sangat subjektif, berangkat dari kepentingan pribadi EM sendiri dan kelompoknya sebagai "Aktivis Jakarta".  Kepentingan untuk bertahan sebagai warga DKI Jakarta.

Jika cara pandang dibalik, melihat Jakarta yang bukan ibu kota lagi dari IKN Nusantara, maka akan terjadi bias juga.  Jakarta akan dipersepsikan rendah pada status barunya sebagai daerah pinggiran.  

Begitulah. Frasa "tempat jin buang anak" telah mengantar EM pada dugaan kasus penistaan warga Kalimantan Timur. Argumen pembelaan diri yang diajukannya malahan cacat logika. Sehingga justru  mempertegas makna yang merendahkan status daerah Kaltim dalam frasa tersebut. Dia harus mempertanggung-jawabkan itu. (eFTe)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun