Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Tempat Jin Buang Anak", Frasa yang Merendahkan Kalimantan Timur

26 Januari 2022   12:04 Diperbarui: 26 Januari 2022   15:19 755
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah akan dikatakan karyawan itu pindah ke "tempat jin buang anak"? Pasti tidak. Sebab Tembagapura memiliki syarat "kota bahagia" yang jauh lebih baik dibanding Jakarta.

Dulu memang ada daerah di luar Jawa yang sempat dilabeli "tempat jin buang anak". Itulah lokasi-lokasi transmigrasi di tengah hutan Sumatera dan Kalimantan yang tak dipersiapkan sebagai pemukiman layak huni. Bukan karena tempatnya jauh dari Jawa, tapi karena kondisi ketaklaikan itu.

Sekarang coba bandingkan dengan kondisi berikut. Di belakang sebuah kampung di Jakarta ada sebidang tanah yang menghutan tak terurus. Itu juga disebut "tempat jin buang anak". Karena kondisinya yang menghutan, seolah tak terjamah manusia. Padahal masih di dalam kota Jakarta.

Dengan mengajukan argumen orang-orangan sawah itu, EM bermaksud mengatakan dirinya tak salah. Tapi argumennya itu cacat logika, sehingga justru memperparah kesalahannya.

Paraleĺisme antara Dua Hal yang Tak Setara

Ketika EM memberi contoh "Monas - BSD ", maka dia sebenarnya sedang berbicara tentang perpindahan manusia ke tempat baru. Sementara "Jakarta - IKN Nusantara" bukan soal perpindahan manusia, melainkan perpindahan IKN. 

Jelas IKN dan BSD tak setara. EM telah mereduksi, dengan kata lain merendahkan, nilai IKN Nusantara sebagai sebuah  pusat pemerintahan nasional menjadi setingkat pemukiman lokal.

Sebuah IKN yang baru sudah pasti dibangun dengan standar kota terbaik, sehingga pasti layak huni untuk manusia. Dengan begitu, pertanyaan "Siapa yang mau tinggal di IKN Nusantara" adalah pertanyaan dungu. Apalagi jika dijawab sinikal: "Gendoruwo, kuntilanak, monyet". 

Begini. Berbeda dengan keputusan seseorang pindah ke BSD yang bersifat individual, keputusan ubtuk pindah ke IKN Nusantara bersifat institusional. Karena itu jelas kelompok sosial pertama yang akan pindah ke sana adalah seluruh pegawai pemerintah pusat. Betul, seluruhnya, kecuali mereka yang memilih mundur atau pensiun dini.

Prasarana dan sarana pemukiman dan kerja di sana sudah pasti pula memadai. Aneka kebutuhan primer, sekunder, dan tersier sudah lengkap tersedia, baik lewat jalur penerintah maupun swasta.  Sebab jika tidak begitu, maka sama saja melumpuhkan IKN.

Sudah pasti tidak ada penduduk biasa Jakarta, non-pegawai pemerintah pusat, yang akan ikut pindah ke sana. Tak ada alasan untuk itu. Hidup mereka kan di Jakarta.  Kecuali memang ada yang hendak mengadu nasib, cari kerja atau buka usaha baru di sana.

Cara Pandang Bias-Jakarta 

EM menggunakan cara pandang bias-Jakarta untuk menilai IKN Nusantara di Kalimantan. Dia memposisikan diri sebagai orang Jakarta yang masih berstatus DKI, sehingga daerah mana saja di luar Jawa pasti dipersepsikan "jauh" atau "terpencil".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun