Dalam kajian Sosiologi, orang somplak itu disebut "penyimpang sosial" (social deviant). Seseorang yang anti-konformitas demi menegakkan suatu gagasan atau temuan baru yang bertentangan dengan kesepakatan umum.
Banyak di antara kita yang begitu. Misalnya, ada seorang warga pesisir yang dicap gila karena menanam bakau di bibir pantai. Setelah hutan bakau jadi, ternyata bwrmanfaat untuk menahan abrasi dan salinisasi, selain juga jadi sarang ikan dan kepiting. Warga yang dicap gila itu ternyata cerdas, inovatif, dan solutif.
Lalu macam apa itu Kompasianer Somplak? Nah, itu tipe Kompasianer yang menyimpang dari keumuman. Umumnya Kompasianer itu kan santun, tertib, apresiatif, nrimo, dan lain sebagainya, sebut saja yang baik-baik. Kompasianer somplak itu sebaliknya. Kasar, kacau, merisak, membantah, dan lain sebagainya, sebut saja yang jelek-jelek.
Kompasianer somplak percaya bahwa kemajuan tak dicapai lewat konformitas, tapi lewat konflik, kompak ora kompak. Karena itu dia tak segan-segan merisak Kompasianer "baik-baik", merisak Admin K, dan melabeli artikel Kompasianer lain sebagai "sampah" atau "dangkal". Â
Pokoknya, dari sisi pandang Kompasianer kebanyakan yang baik hati itu, Kompasianer Somplak itu perusuh, musuh bersama, yang "enaknya dipites serupa tumbila".
Pertanyaannya, siapakah Kompasianer Somplak itu? Wah, saya tak mau melangkahi kehormatan mereka menyebut nama-nama ei sini. Biarkan mereka mengaku sendiri.
Tapi saya bisa menyebut nama seorang Kompasianer Somplak dari varian Kenthirisme. Seorang Kompasianer Anarkis bernama Felix Tani. Kamu mungkin pernah dirisaknya. Â (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H