Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Artikel-artikel Sampah dari Kompasianer Kenthir

17 Januari 2022   16:30 Diperbarui: 17 Januari 2022   16:53 842
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ini sampah!" kata Dosen Pembimbing seusai membaca cepat draft pertama makalahku.  Aku kaget, tapi segera ingin tahu ukurannya. Kepalaku angguk-angguk macam anakan Yogya, setelah Pak Dosen menjelaskan struktur dan bahasa makalah ilmiah.  "Ya, ini sampah," kataku sambil melempar draft itu ke tempat sampah di kamar kos.

Aku mulai lagi menulis dari awal.  Sambil merujuk bimbingan Pak Dosen tentang struktur dan bahasa ilmiah.  Draft kedua selesai.  Siap dikonsultasikan ke Pak Dosen.  

Aku sudah  menyiapkan mental untuk komentar "Ini sampah!"  Harapan yang berlebihan.  Kata Pak Dosen,  "Ini masih sampah. Tapi bisalah didaur-ulang.  Perbaiki lagi, ya."

Itu baru soal struktur dan bahasa makalah. 

Soal substansinya, lebih parah lagi.  Di bagian itu Pak Dosen dengan sadis memilah mana isi yang tergolong sampah, sehingga harus dibuang.  Mana isi yang tergolong data dan analisis baru yang bermanfaat, sekurangnya manfaat tambahan pengetahuan.

Itu ceritaku semasa jadi mahasiswa culun.

***

Lain lagi ceritaku setelah lulus dan boleh mengajar.  

Selain mengajar, dan meneliti, saya juga sempat ditugasi menjadi Editor Kepala untuk sebuah jurnal ilmiah tingkat departemen. Jurnal itu terakreditasi bagus dari Dirjendikti Depdikbud RI, sehingga tak kurang calon Guru Besar yang minta artikel ilmiahnya dimuat dalam jurnal itu.  Apa lagi tujuannya kalau bukan untuk mencukupi jumlah KUM riset/karya ilmiah.

Suatu ketika seorang calon Guru Besar dari sebuah universitas di Sumatera datang membawa artikel ilmiah.  Dia dengan sangat minta agar dapat dimuat dalam jurnal.

"Tolonglah, Pak.  Kalau artikel ini tak bisa terbit,  tak bisalah aku jadi Guru Besar," katanya penuh harap.

"Saya baca dulu, Pak.  Besok kita ketemu lagi," kataku.

Besoknya kami berdua berhadap-hadapan di ruang kerjaku. "Maaf, Pak.  Banyak yang harus Bapak perbaiki pada artikel ini," kataku sambil mengembalikan naskahnya yang penuh coret-moret dariku.

"Waduh.  Artikelku macam sampah rupanya," katanya sambil tertawa ngakak.

"Bapak sendiri yang ngomong begitu," kataku sambil tertawa.

Dia menghabiskan waktu selama dua hari untuk memperbaiki artikelnya sesuai masukanku. Karena  bersungguh-sungguh, dan mau menerima "kesampahan" artikelnya, dia berhasil menulis-ulang artikelnya hingga mencapai kualitas layak publikasi di jurnal.

Pada satu hari setelah sekian waktu berlalu dari peristiwa , saya mendapat telepon ucapan terimakasih dari orang itu.  Dia sudah menerima SK Guru Besar.

***

Kisah yang sangat berbeda kualami di Kompasiana.

Di blog sosial ini, orang sangat alergik pada frasa "artikel sampah" dan "artikel dangkal".  Frasa macam itu dianggap merendahkan, atau menghina, penulis artikel. Tidak menghargai jerih-payah penulisnya.

Betulkah begitu? Tergantung sudut pandangnya.  Sejauh dari hati yang jujur, saya tidak melihat frasa seperti itu sebagai penghinaan. Tapi sebuah bentuk keperdulian, didasari niat baik agar penulis kerja lebih keras lagi untuk menulis artikel yang "bukan sampah"

Indikasi niat baik itu sederhana saja.  Frasa "artikel sampah" atau "dangkal" itu diikuti dengan penjelasan tentang "kesampahan" dan "kedangkalan", lalu diakhiri dengan saran konstruktif.

Dalam beberapa artikel terdahulu, saya beberapa kali menyebut kualitas "dangkal" pada sejumlah artikel di Kompasiana, termasuk yang naik ke kasta "Artikel Utama".  Ukuran saya simpel:  reproduktif, memproduksi ulang substansi artikel-artikel yang dengan mudah bisa ditemukan di berbagai medsos dan medmas daring.  Bukan sebuah kebetulan jika kualitas dangkal itu tersematkan pada artikel-artikel "politrik dan politip".

Itu satu ukuran sederhana.  Dua ukuran lain adalah sesat logika dan tidak etis.  Tapi jenis artikel macam ini biasanya langsung dihapus Admin K dan dibuang ke "tong sampah".  Sekali lagi, dibuang ke "tong sampah".

Sejumlah Kompasianer, terutama rekan milenial, mengecam saya atas frasa "artikel dangkal" yang bisa juga diartikan "sampah" itu. Alasannya, ya, itu tadi, menghina, tak menghargai sesama Kompasianer.

Prinsip saya begini.  Kalau saya tak menghargai penulis, para Kompasianer itu, maka saya tak akan baca artikelnya.  Atau saya baca tapi saya tak beri nilai dan komentar.

Ada soal serius di situ.  Saya hanya akan berkomentar pedas pada artikel yang menurut saya kualitasnya bagus, bukan artikel "sampah" atau "dangkal". (Ini di luar artikel-artikel picisan, ya).  Di Kompasiana, tak banyak Kompasianer yang terbuka hatinya menerima komentar keras dari saya.  Dan saya sangat menghormati mereka.

Banyaklah Kompasianer yang lebih memperturutkan perasaannya.  Langsung baper kalau dikritik atau disentil artikelnya. Lalu menulis artikel playing victim untuk mendapatkan sympathy and support  dari Kompasianer lain yang merasa senasib.  (Lha, kok jadi bahasa anak Jaksel, ya.)

Ya, sudahlah. Lanjut saja begitu.  Rebahan sampai obes sana di zona nyamanmu!

***

Kompasianer Kenthir, maksud saya Engkong Felix, bukanlah orang yang steril dari produk artikel sampah dan dangkal.  Selama 7 tahun di Kompasiana, banyak juga artikel semacam itu ditulisnya.

Kelemahan Engkong Felix adalah "tulis dan langsung tayang".  Setelah tayang, barulah dibaca kembali, dan ketahuan kualitasnya sampah dan dangkal.  Belum lagi wabah typosialant yang menyakiti kata-kata dalam artikel.

Dalam kondisi semacam itu, sebagai bentuk kritik diri, Engkong Felix akan menghapus artikel dengan dua kemungkinan lanjutan. Menulis ulang sampai layak dibagikan pada khalayak, atau campakkan ke tong sampah selamanya.

Orang bilang, menghapus artikel itu tanda gak tanggungjawab.  Boleh-boleh saja berpendapat begitu.  Tapi bagi Engkong Felix, jauh lebih tak bertanggungjawab jika menyuguhkan "sampah" untuk dimamah pembaca.

Pasti ada yang menyangkal Engkong dengan mengatakan bahwa setiap artikel adalah estetika eksistensi dari penulisnya. Menurut Engkong, itu benar dan hanya benar jika artikel itu dianggit mengikuti rambu logika, etika, dan estetika secara ketat.

Dengan itu saya tak hendak mengklaim bahwa artikel-artikel Engkong Felix, Kompasianer Kenthir itu, sudah pasti bukan artikel sampah yang dangkal.   Kamu punya kebebasan untuk berdiri pada posisi tertentu yang  memungkinkan kamu mengatakan ini: "Semua artikel anggitan Felix Tani itu sampah dan dangkal!"

Tapi kamu punya tanggungjawab untuk meyakinkan Felix Tani tentang batasan dan ukuran "artikel sampah dan dangkal". Itu saja. (eFTe)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun