Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Rauli, Perlawanan Pariban dalam Masyarakat Batak

14 Januari 2022   07:19 Diperbarui: 19 Januari 2022   00:15 5279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perkawinan adat Batak (Foto: @chicchojerikho via pariwisatasumut.net)

Dalam masyarakat Batak Toba tua, pariban dimaknai sebagai rongkap, jodoh. Pariban, dari sisi lelaki adalah putri tulang, kakak/adik laki ibu kandung. Dari sisi perempuan adalah putra namboru, kakak/adik perempuan ayah kandung.

Di masa lalu, seorang perjaka selalu diproyeksikan menikah dengan putri tulangnya. Sedangkan perawan diproyeksikan menikah dengan putra namborunya.

Pola sosial perjodohan macam itu merujuk pada tradisi relasi kekerabatan antara dua belahan suku Batak di awal mula. Relasi antara belahan Lontung, keturunan Raja Ilontungon (Tateabulan) dan belahan Sumba, keturunan Raja Isumbaon.

Dalam tarombo, tambo Batak mula-mula dikisahkan bahwa Sorimangaraja, putra Isumbaon menikahi tiga putri Ilontungon. Dengan demikian, belahan Lontung menjadi hula-hula (tulang, pemberi istri) bagi belahan Sumba. Sedangkan belahan Sumba menjadi boru (amangboru, penerima istri) bagi Lontung.

Begitulah awal mula terbentuknya relasi pariban dalam masyatakat Batak. Putri-putri belahan Lontung adalah putri tulang bagi putra-putra Sumba.

Dinasti Sisingamangaraja, belahan Sumba, dapat menjadi contoh relasi pariban dengan belahan Lontung. Sisingamangaraja I sampai XII secara berulang mengambil istri atau salah seorang istri boru Situmorang, putri dari belahan Lontung. Karena itu Situmorang adalah hula-hula tulang bagi Sisingamangaraja (Sinambela) yang berada di posisi boru.

Pola semacam itu masih bisa ditemukan setidaknta sampai tahun 1980-an di Tanah Batak. Saya menemukan satu kasus, ini contoh saja, pada empat generasi satu keluarga luas bermarga Sitorus, belahan Sumba, anak laki sulung menikah dengan boru Sinaga, belahan Lontung. Itu artinya empat generasi marboru-tulang, kawin dengan pariban.

Begitulah. Menikah antar pariban adalah gejala sosial yang sudah ada sejak Batak mula-mula. Sampai era milenial ini, perkawinan semacam itu masih bisa ditemukan. Tapi sudah jarang, karena berbagai alasan yang akan dijelaskan nanti.

***

Sedikitnya ada lima faktor penyebab memudarnya pola perkawinan antar pariban dalam masyarakat Batak. Faktor-faktor itu bisa bekerja secara sendiri atau bersamaan dalam satu dan lain kasus.

Pertama, tidak didukung Gereja Kristen. Dalam pandangan Gereja Kristen, baik Katolik maupun Protestan, perkawinan antar pariban kandung tergolong pernikahan endogami. Lebih spesifik lagi, perkawinan sedarah atau inses. Dikatakan begitu sebab ibu mempelai laki adalah kakak/adik dari ayah mempelai perempuan.

Mayoritas warga etnis Batak Toba adalah umat Kristen yang taat. Hal-hal yang tak didukung gereja, seperti perkawinan anrar pariban, sedapat mungkin dihindari.

Kedua, keterbukaan spasial Tanah Batak. Sejak 1920-an isolasi spasial pedesaan Tanah Batak dibuka melalui pembangunan jaringan jalan di dalam dan ke luar daerah. Mobilitas spasial dan interaksi sosial orang Batak semakin meningkat. Kondisi ini memungkinkan kaum muda Batak untuk menemukan jodoh di luar lingkaran pariban, bahkan di luar etnis Batak.

Ketiga, keterbukaan sosial etnis Batak. Kemajuan di bidang pendidikan dan perluasan arena pergaulan sosial ke luar daerah membuka wawasan orang Batak tentang kebaikan perkawinan eksogami. Selain menghindari kelainan bawaan pada anak (pada perkawinan endogami), perkawinan eksogami dihargai karena memperluas jaringan kekerabatan. 

Bagi orang Batak, jaringan kekerabatan yang luas adalah modal sosial yang penting. Sewaktu-waktu modal sosial semacam itu bisa ditransformasi menjadi modal politik.

Keempat, perbedaan status sosial. Ini sebenarnya lebih sebagai faktor rasionalitas ekonomi. Seorang tulang yang kaya dan kuasa cenderung mencegah putrinya menikah dengan pariban, putra namboru, yang miskin dan lemah. Sebab seorang ayah yang baik tak hendak menjerumuskan anak gadisnya ke jurang kemiskinan.

Kelima, perlawanan terhadap tradisi. Ada umpasa, petitih Batak tua yang mengatakan "Tuat na dolok martungkot sialagundi, na pinungka ni parjolo diihuthon na parpudi." Artinya, "Turun dari bukit bertingkat legundi, tradisi leluhur dijalankan keturunannya."

Seiring keterbukaan spasial dan sosial orang Batak, kebenaran umpasa itu semakin dipertanyakan untuk hal-hal tertentu. Termasuk mempertanyakan tradisi petkawinan endogami antar pariban. Perkawinan eksogami lebih diapresiasi sebagai pilihan yang lebih maju, sejalan dengan keterbukaan orang Batak.

Perkawinan eksogami kemudian dilihat sebagai bentuk emansipasi sosial, keluar dari kungkungan tradisi atau adat yang mengerdilkan. Semakin ke sini, orang muda semakin menghindari perkawinan dengan pariban.

Perkawinan endogami semacam itu dinilai sebagai bentuk keterbelakangan sosial atau bahkan kegagalan dalam emansipasi sosial. Untuk keluar dari stigma sosial macam itu, para jejaka dan gadis Batak kemudian cenderung mencari jodoh di luar lingkaran pariban. 

***

Faktor tersebut kelima di atas, perlawanan terhadap tradisi, kini tampil menjadi faktor dominan.  Perlawanan tersebut dapat dimaknai sebagai gejala emansipasi sosial.

Emansipasi atau perlawanan terhadap tradisi perkawinan endogami antar pariban itu terutama tumbuh di kalangan muda Batak. Hal itu antara lain diartikulasikan dalam budaya pop. Secara khusus, dalam khasanah lagu Batak populer, perlawanan terhadap tradisi nikah pariban itu tampil sebagai tema populer.

Rauli adalah judul salah satu lagu Batak yang mengambarkan perlawanan itu dengan bagus. Lagu karangan Pardamean Naibaho ini mengisahkan gadis Rauli yang meninggalkan kesepakatan perkawinan dengan paribannya. 

Gadis Rauli memilih untuk menikah dengan lelaki lain, idamannya sendiri. Tinggallah Si Doli, lelaki paribannya meratapi nasib di-ghosting Rauli:

"Nunga tung takkas ito hu paboa hasian
Tu damang da inang i parbogasonta i
Ala naung tarunduk do hian da tulangi
Di akka hata na denggan paposhon rohakki

Alai sasudenai sakkap ni rohatta i
Gabe songon nipi do di hos ni ari i
Ala naung adong solot ito di rohakki
Na so boi tarpapuas ahu tu ho ito

Reff:

Rauli
Ingot ahu sai ingot au ito

Rauli
Nang pe naung muli ho ito
Rohakki sai hot tuho

Rauli
Paima ma au di nipi mi
Paboaonku do tuho….
Ise do na sala
Ise do na sala di hita nadua."

"Sudah terang dinda kukabarkan kekasih
Kepada ayah dan bunda hubungan cinta kita
Karena paman sudah mengangguk dulu
Pada kata-kata indah yang meyakinkan hatiku.

Tapi semua rencana hati kita
Menjadi seperti mimpi di siang bolong
Sebab telah ada terselip di dalam hatiku
Yang tak mampu kuungkap padamu dinda.

Reff:

Rauli
Ingat aku selalu ingat aku dinda

Rauli
Walau engkau sudah nikah dinda
Hatiku tetap padamu

Rauli
Nantikanlah aku di mimpimu
Kan kuberitahu padamu….
Siapa yang salah
Siapa yang salah di antara kita berdua." 

Syair lagu itu dengan terang mengisahkan bahwa Si Doli telah di-pehape tulangnya dan di-ghosting paribannya. Sakitnya itu "di sini", sampai Si Doli tak bisa move on. Tetap mencintai Rauli yang sudah menikah dengan pria idaman lain (PIL).

Rauli telah melakukan perlawanan terhadap tradisi perkawinan antar pariban. Orangtuanya juga mendukung, membiarkan Rauli meninggalkan kesepakatan perjodohan yang dibuat orangtua. 

Sejatinya Si Doli sudah tahu Rauli punya PIL, tapi didiamkannya, sebab dia percaya pada kata-kata manis tulangnya. Jadi kalau harus nenunjuk siapa yang salah, ya, Si Doli itu yang salah. Sudah tahu Rauli punya pacar, eh, masih disosor juga. Jadi apa pula perlunya Si Doli datang ke mimpi Rauli?

Si Doli jelas belum bisa move on, hatinya masih pada Rauli, maka dia mau datang ke mimpi paribannya yang sudah jadi istri orang lain. Eh, itu tergolong perselingkuhan. Bahaya. 

Siapa yang bisa menjamin bahwa dalam mimpi itu Si Doli hanya mau menyampaikan siapa yang salah di antara mereka berdua. Memangnya bisa menjamin dalam mimpi tidak akan terjadi kontak "kulit ke kulit" dan "bulu ke bulu"? Mimpi masa kini kan tak bisa dipercaya. 

Lagu Rauli, bagaimanapun, dengan baik telah mengisahkan emansipasi sosial orang muda Batak Toba. Secara khusus emansipasi sosial perempuan Batak, untuk membebaskan diri dari kungkungan tradisi perkawinan endogami antar pariban. 

Tentu saja ada lagu Batak lain yang berkisah sebaliknya. Si Lelaki yang meng-ghosting Si Gadis paribannya. Hanya saja, dalam lagu Rauli, dikisahkan Si Doli yang termehek, gagal move on setelah di-pehape tulang dan di-ghosting pariban.

Oi, Lae Doli, bangun kau, ini sudah era teknologi 4.0, jangan lagi tertawan oleh tradisi marboru ni tulang, mesti kawin dengan pariban. Janfan bikin malu lelaku Batak. Kalau perlu, cari jodoh di internet sana. Macam doli-doli na matua, jaka daluarsa yang tak laku saja kau itu kutengok. (eFTe)

Selamat mendengarkan dan meresapkan dalam hati lagu "Rauli" yang dinyanyikan oleh Marsada Acoustic. Aslinya lagu ini dipopulerkan oleh Axido Trio.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun