Pertama, tidak didukung Gereja Kristen. Dalam pandangan Gereja Kristen, baik Katolik maupun Protestan, perkawinan antar pariban kandung tergolong pernikahan endogami. Lebih spesifik lagi, perkawinan sedarah atau inses. Dikatakan begitu sebab ibu mempelai laki adalah kakak/adik dari ayah mempelai perempuan.
Mayoritas warga etnis Batak Toba adalah umat Kristen yang taat. Hal-hal yang tak didukung gereja, seperti perkawinan anrar pariban, sedapat mungkin dihindari.
Kedua, keterbukaan spasial Tanah Batak. Sejak 1920-an isolasi spasial pedesaan Tanah Batak dibuka melalui pembangunan jaringan jalan di dalam dan ke luar daerah. Mobilitas spasial dan interaksi sosial orang Batak semakin meningkat. Kondisi ini memungkinkan kaum muda Batak untuk menemukan jodoh di luar lingkaran pariban, bahkan di luar etnis Batak.
Ketiga, keterbukaan sosial etnis Batak. Kemajuan di bidang pendidikan dan perluasan arena pergaulan sosial ke luar daerah membuka wawasan orang Batak tentang kebaikan perkawinan eksogami. Selain menghindari kelainan bawaan pada anak (pada perkawinan endogami), perkawinan eksogami dihargai karena memperluas jaringan kekerabatan.Â
Bagi orang Batak, jaringan kekerabatan yang luas adalah modal sosial yang penting. Sewaktu-waktu modal sosial semacam itu bisa ditransformasi menjadi modal politik.
Keempat, perbedaan status sosial. Ini sebenarnya lebih sebagai faktor rasionalitas ekonomi. Seorang tulang yang kaya dan kuasa cenderung mencegah putrinya menikah dengan pariban, putra namboru, yang miskin dan lemah. Sebab seorang ayah yang baik tak hendak menjerumuskan anak gadisnya ke jurang kemiskinan.
Kelima, perlawanan terhadap tradisi. Ada umpasa, petitih Batak tua yang mengatakan "Tuat na dolok martungkot sialagundi, na pinungka ni parjolo diihuthon na parpudi." Artinya, "Turun dari bukit bertingkat legundi, tradisi leluhur dijalankan keturunannya."
Seiring keterbukaan spasial dan sosial orang Batak, kebenaran umpasa itu semakin dipertanyakan untuk hal-hal tertentu. Termasuk mempertanyakan tradisi petkawinan endogami antar pariban. Perkawinan eksogami lebih diapresiasi sebagai pilihan yang lebih maju, sejalan dengan keterbukaan orang Batak.
Perkawinan eksogami kemudian dilihat sebagai bentuk emansipasi sosial, keluar dari kungkungan tradisi atau adat yang mengerdilkan. Semakin ke sini, orang muda semakin menghindari perkawinan dengan pariban.
Perkawinan endogami semacam itu dinilai sebagai bentuk keterbelakangan sosial atau bahkan kegagalan dalam emansipasi sosial. Untuk keluar dari stigma sosial macam itu, para jejaka dan gadis Batak kemudian cenderung mencari jodoh di luar lingkaran pariban.Â
***