Coba terima fakta ini dengan pikiran jernih. Tiga pemain Singapura diganjar kartu merah. Pemain Indonesia tak ada. Â Empat gol lesak ke gawang Singapura. Ke gawang Indonesia hanya dua. Â Tim Indonesia juga unggul dalam penguasaan bola.Â
Masih tetap mau bilang Indonesia bermain lebih buruk dari Singapura?
Saya pikir otak khalayak sepakbola Indonesia sudah keracunan karena kebanyakan menonton Liga Eropa. Â Keracunan oleh anggapan model sepakbola Eropa itulah yang baik dan benar. Itulah seharusnya kiblat dan standar sepakbola dunia. Tak ada pilihan lain.
Maka ketika Shin Tae-yong memperkenalkan sepakbola model Drakor yang anarkis, penonton Indonesia mencak-mencak. Penonton resisten terhadap model sepakbola anarkis macam itu.Â
Padahal model anarkis ala Shin Tae-yong itu adalah sebuah novelty sepakbola. Sebuah model baru yang memadukan semangat pantang kalah Korea dan semangat gotong-royong Indonesia. Mengapa tak bisa menerimanya sebagai jalan lain dalam permainan sepakbola.
Memang, sepakbola Drakor Anarkis itu belumlah sempurna. Pemanggungannya di lapangan masih diwarnai berbagai kesalahan dalam tindakan pemain. Mau bilang itu "kedunguan", silahkan saja..Â
Tapi ingat baik-baik. Ketika model anarkis, strategi tanpa-strategi, itu dipraktekkan Indonesia saat melawan Singapura, dua tujuan telah dicapai: kemenangan tim dan ketandasan emosi penonton. Itulah tujuan bermain dan menonton sepakbola.
Jadi, masih mau bilang Shin Tae-yong dan Tim Indonesia tak layak melaju ke babak final melawan Tim Thailand?Â
Baiklah, silahkan sepuasnya  mengecam Tim Indonesia. Sementara Shin Tae-yong dan tim akan selalu mengeja kata-kata dalam lantunan lagu Frank Sinatra, "I did it may way."  (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H