Bola itu bundar, bergerak anarkis, sehingga permainan sepakbola memang seharusnya anarkis. -Felix Tani
Shin Tae-yong dan timnya  sukses membentuk Timnas Sepakbola Indonesia jadi tim yang mampu memanggungkan anarkisme dalam pernainan di lapangan.Â
Bermain sepakbola secara anarkis berarti menerapkan "strategi tanpa strategi" dan, karena itu, juga "taktik tanpa taktik".Â
Bola itu bundar. Itu adalah idiom untuk mengatakan bahwa permainan sepakbola tak bisa ditebak, atau anarkis, ketika dimainkan di lapangan. Bola bergerak anarkis, dari pemain ke pemain lain, dengan satu tujuan yaitu gol, menjebol gawang lawan.
Di bidang sains, penganjur anarkisme adalah filsuf Paul Feyerabend. Katanya, untuk mecapai kebenaran ilmiah, cara apa saja boleh dilakukan. Asalkan cara itu logis, etis, dan karena itu estetis.Â
Dalam konteks sepakbola, logis berarti rasional atau masuk akal. Etis berarti sportif. Estetis berarti indah, resultan dari logis dan etis. Sepakbola terjelek adalah yang tak maduk akal dan brutal.
Jika Fayerabend ditanya tentang metode ilmiah, dia akan menjawab, "Metode saya adalah tanpa-metode". Dalam konteks sepakbola, itu berarti strategi "tanpa-strategi".
Begitulah, dalam laga antara Indonesia dan Malaysia di Puala AFF 2020,Singapura hari Minggu malam (19/12/2021 pukul 19.30 WIIB), Tim Indonesia sukses memainkan sepakbola anarkis. Suatu permainan  yang menerapkan strategi "tanpa-strategi", juga taktik "tanpa-taktik".
Lazimnya permainan sepakbola sistematis, lawan anarkis, menerapkan satu saja strategi utama yang merujuk pada struktur pemain di lapangan. Semisal 5-4-1 jika memutuskan strategi bertahan, atau 3-5-2 jika memutuskan strategi menyerang. Pilihan semacam itu memungkinkan lawan menentukan kontra-strategi.
Tapi dalam pertandingan tadi malam, Shin Tae-yong dan Timnas Indonesia menolak konsep sepakbola sistematis yang monoton. Tim Indonesia secara tak terduga justru memainkan sepakbola anarkis, menerapkan strategi "tanpa-strategi" yang dinamis, intuitif dan kreatif, sehingga membingungkan Tim Malaysia.
Strategi "tanpa-strategi" Timnas Indonesia adalah penerapan strategi 3-2-3-1 (menyerang) dan 3-3-2-1 (bertahan) di babak pertama. Lalu ganti menjadi 3-5-2 (menyerang) dan 5-3-2 (bertahan) di babak kedua. (baca artikel Arnold Adoe di K). Pergantian satu ke lain strategi itu berlangsung alami, seolah tanpa arahan. Sehingga Tim Malaysia tak pernah sepenuhnya mampu membaca permainan Tim Indonesia.Â
Ya, tidak ada yang bisa membaca anarkisme, bahkan tidak juga pelakunya. Sebab  yang berperan di situ bukan lagi semata intelektualitas, melainkan terutama intuisi dan serendipitas. Intuisilah yang menggerakkan setiap pemain Indonesia dengan kesadaran tim. Dan serendipitas, kecerdasan melihat peluang tak terduga, dieksekusi dalam bentuk aksi yang membuahkan gol.
Maka, sepanjang permainan tadi malam, penonton bisa menyaksikan pemain Malaysia hanya bisa berlarian kebingungan sampai frustasi di lapangan. Mereka tak mampu mengkonter strategi anarkis, tak sistematis tapi dinamis, Â yang dimainkan Tim Indonesia di lapangan.
Penonton juga jadi saksi, sebelum Tim Malaysia sepenuhnya sadar strategi apa yang sebenarnya sedang dihadapi, gawang mereka sudah kebobolan empat gol. Malaysia hanya kebagian satu gol sebagai hukuman untuk kesalahan Irfan Jaya, pemain depan yang nimbrung di garis belakang.
Barangkali, bisa dikatakan Shin Tae-yong termasuk satu dari segelintir pelatih yang berhasil menerjemahkan dan menerapkan filsafat anarkisme Feyerabend di lapangan sepakbola. Saya bilang anarkisme, bukan filsafat pragmatisme ala Charles Sanders Peirce, bapak pragmatisme Amerika.
Jadi? Ya, sudahlah. Selamat pulang kampung, Tim Malaysia. Tolong pula diingat, kemenangan Indonesia kali ini bukan semacam rendang yang bisa diklaim sebagai milik Malaysia. (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H