Strategi "tanpa-strategi" Timnas Indonesia adalah penerapan strategi 3-2-3-1 (menyerang) dan 3-3-2-1 (bertahan) di babak pertama. Lalu ganti menjadi 3-5-2 (menyerang) dan 5-3-2 (bertahan) di babak kedua. (baca artikel Arnold Adoe di K). Pergantian satu ke lain strategi itu berlangsung alami, seolah tanpa arahan. Sehingga Tim Malaysia tak pernah sepenuhnya mampu membaca permainan Tim Indonesia.Â
Ya, tidak ada yang bisa membaca anarkisme, bahkan tidak juga pelakunya. Sebab  yang berperan di situ bukan lagi semata intelektualitas, melainkan terutama intuisi dan serendipitas. Intuisilah yang menggerakkan setiap pemain Indonesia dengan kesadaran tim. Dan serendipitas, kecerdasan melihat peluang tak terduga, dieksekusi dalam bentuk aksi yang membuahkan gol.
Maka, sepanjang permainan tadi malam, penonton bisa menyaksikan pemain Malaysia hanya bisa berlarian kebingungan sampai frustasi di lapangan. Mereka tak mampu mengkonter strategi anarkis, tak sistematis tapi dinamis, Â yang dimainkan Tim Indonesia di lapangan.
Penonton juga jadi saksi, sebelum Tim Malaysia sepenuhnya sadar strategi apa yang sebenarnya sedang dihadapi, gawang mereka sudah kebobolan empat gol. Malaysia hanya kebagian satu gol sebagai hukuman untuk kesalahan Irfan Jaya, pemain depan yang nimbrung di garis belakang.
Barangkali, bisa dikatakan Shin Tae-yong termasuk satu dari segelintir pelatih yang berhasil menerjemahkan dan menerapkan filsafat anarkisme Feyerabend di lapangan sepakbola. Saya bilang anarkisme, bukan filsafat pragmatisme ala Charles Sanders Peirce, bapak pragmatisme Amerika.
Jadi? Ya, sudahlah. Selamat pulang kampung, Tim Malaysia. Tolong pula diingat, kemenangan Indonesia kali ini bukan semacam rendang yang bisa diklaim sebagai milik Malaysia. (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H