Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Poltak #083] Mengintip Suara-Suara Malam Pertama

17 Desember 2021   22:50 Diperbarui: 18 Desember 2021   04:56 1115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Poltak! Nanti malam kita diajak Bang Rudol." Binsar berbisik pada Poltak. "Betul, Poltak," sambung Bistok.

Bang Rudol itu adalah abang sepupu dari Bistok. Umurnya sekitar 17 tahun.  Setelah lulus SD, tak melanjutkan sekolah lagi. Langsung membantu orangtuanya bekerja di sawah.

"Diajak ke mana?" Poltak tak mengerti.

"Mengintip malam pertama," bisik Binsar, sambil mengarahkan ekor matanya ke arah pasangan pengantin yang sedang diadati di halaman rumah Amani Maruhal di Panatapan.

Maruhal, anak sulung Amani Maruhal, cucu sulung mendiang Ompu Maruhal doli, menikah secara adat Batak pada hari itu.  Dia menikah dengan Tiominar, gadis pujaannya dari kampung Portibi, Hutabolon.

"Bah, jangan ikut pesong kau Binsar." Poltak mengingatkan Binsar agar jangan ikut-ikutan pesong, dungu-dungu gila.

"Eh, itu kan sudah kebiasaan, Poltak.  Kita sudah kelas lima.  Sudah boleh"jugalah ikut ngintip." Binsar berargumen.

"Ah, tak maulah aku. Kalian berdua saja." Poltak menolak.

"Macam mana pula kau ini. Di kampung kita jarang ada pengantin baru.  Tahun depan belum tentu ada. Kapan lagi kita bisa ikut ngintip." Bistok menekan Poltak.

"Lagi pula, tahun depannya lagi, kau mungkin sudah masuk seminari di Siantar," sambung Binsar. "Sudah jadi calon pastor."

"Bah, apa hubungannya?"

"Adalah.  Kalau sudah jadi calon pastor, tak bolehlah kau ngintip yang begituan.  Dosa besar itu."  Binsar melancarkan provokasi.

"Ah, betul kalilah itu.  Cuma nanti malam kesempatanmu, Poltak." Bistok menekan lagi.

"Tidaklah. Kalian saja."

"Oh, begitukah? Kau mau ingkar perjanjian hariara hapuloan, ya, Poltak.  Ingat! Kita bertiga jadi satu, satu hati, satu derita, satu rejeki." Binsar melancarkan jurus mematikan.

"Bah, bagaimana pula ini."  Poltak bingung, garuk-garuk kepala, tak tahu lagi mesti bicara apa.

Binsar tahu Poltak sudah menyerah.  Segera direngkuhnya bahu Poltak dari sebelah kanan. Bistok merengkuh dari kiri. 

Kompak.  Tiga sekawan menunggu malam pertama datang. Saat pasangan pengantin baru mengunci diri berdua di kamar.

Mengintip malam pertama itu semacam tradisi yang dilarang tidak, dianjurkan juga tidak. Kalau kepergok, orang jadi tahu. Tak kepergok juga,  orang tahu itu terjadi. Lalu, jadi bahan guyonan.

Itu bagian dari pendidikan seks dalam komunitas Batak. Terjadi di Panatapan. Juga kampung-kampung lain di Tanah Batak umumnya. 

Mengintip malam pertama adalah pelajaran bagi para lelaki muda. Mereka jadi tahu apa yang harus dilakukan pasangan pengantin di malam pertama. Juga jadi tahu bagaimana hal itu dilakukan.

Jangan dikira pengantin baru tidak sadar sedang diintip. Sadar, sangat sadar. Tapi tidak bisa menghindari atau melarangnya.

Seusai pesta adat perkawinan Maruhal dan Tiominar, sebagian tetamu,  terutama kerabat dan warga kampung Panatapan, bermalam di rumah Amani Maruhal. 

Poltak, Binsar, dan Bistok ikut bermalam di situ. Juga Rudol, inisiator pengintipan, tentu saja.

Dini hari. Tetamu sudah lelap. Kelelahan.

"Poltak. Bangun. Ayo." Binsar berbisik di telinga Poltak, sambil menguncang-guncang tubuhnya yang dibekap lelap.

Poltak bangun. "Sst, pelan-pelan. Jangan ribut." Bang Rudol mengingatkan.

Berempat, mereka berjinjit keluar dari rumah Amani Maruhal, turun ke halaman.

"Tak salahkah kita ini?" bisik Poltak pada Bang Rudol.

"Tidak. Ini serupa kau tonton ayam, babi, atau kerbau kawin. Sudah diam mulutmu itu." Bang Rudol meyakinkan Poltak. Sekaligus menegur.

Ternak piaraan adalah guru pertama pelajaran seks bagi anak-anak Batak. Tak terkecuali Poltak, Binsar, dan Bistok.

Di halaman rumah, mereka menyaksikan ayam jantan mengawini ayam betina. Dari situ mereka tahu, ayam betina bertelur setelah dibuahi ayam jantan. 

Di padang penggembalaan, mereka menyemangati kerbau jantan yang mengawini kerbau betina. Dari situ mereka tahu, kerbau betina yang sedang masa subur rela dibuahi kerbau jantan, tanpa pandang wajah. Setelah itu, hamil dan melahirkan setelah 11 bulan.

Mereka juga belajar perbedaan pola kawin hewan. Ayam, ribut waktu kawin dan bertelur. Kerbau, kawin di tempat terbuka, melahirkan di tempat tertutup. Asu rantang-runtung sambil kawin, sendirian saat melahirkan. Kucing, heboh waktu kawin, diam-diam saat melahirkan.

Manusia? Heboh saat melahirkan, tapi kawin sembunyi-sembunyi di tempat tertutup. Mungkin itu sebabnya perlu diintip.

"Mengintip itu dosa kan, Bang Rudol?" tanya Poltak, berbisik. 

"Tenang saja. Kau nanti bisa mengaku dosa pada Pastor Silverius. Sudah. Diam."

"Ah, percuma juga bicara dosa pada Bang Rudol," pikir Poltak. 

Poltak teringat, sekali waktu saat mandi telanjang ramai-ramai di pancuran, Rudol bercerita sudah pernah tidur dengan dua orang pramuria. Tempatnya di sebuah hotel di Parapat. 

Dia menceritakan detail pengalamannya. Tentang lekak-lekuk tubuh perempuan, cara gumulnya, dan sensasi nikmatnya. Poltak, Binsar, dan Bistok hanya bisa ternganga mendengar.

Penasaran, Poltak bertanya. "Bang Rudol kan sudah pernah melakukannya. Kenapa pula harus ngintip lagi."

"Memang. Tapi abang belum pernah mengintip malam pertama pengantin baru, bodat!"

Tiba di samping kamar pengantin, Bang Rudol langsung mengintip ke dalam lewat sebuah lubang di dinding papan. Rupanya dia sudah survei lubang dinding kamar siang harinya.

Lampu semprong di kamar masih menyala. Cahayanya menembus lembut dari sela-sela dinding. 

Dari dalam kamar terdengar suara-suara aneh. Gumaman, cekikikan tertahan, rengek menggek, dan desah-desis. Juga bunyi kriyet-kriyet tempat tidur.

Mata kanan Bang Rudol masih menempel di lubang dinding. Kelihatannya dia sangat serius. Entah apa yang terlihat olehnya di dalam kamar.

"Sekarang kau, Binsar." Bang Rudol menyerahkan lubang intip kepada Binsar. Binsar jinjit mengintip.

"Kau lihat apa," bisik Bistok, bertanya.

"Tidak ada. Gelap. Cuma dengar suara-suara aneh. Coba kamu intip."

Binsar menyerahkan lubang intip pada Bistok.

"Betul. Gelap. Cuma dengar suara-suara aneh," bisik Bistok. "Giliranmu, Poltak."

"Tidaklah. Bodoh kali pula kalian. Masa suara diintip. Suara itu didengar." Poltak menolak, sambil mengatai Binsar dan Bistok bodoh.

Rupanya minyak tanah di lampu semprong habis. Lampu mati, bersamaan dengan penyerahan lubang intip dari Bang Rudol kepada Bistok.

"Terimakasih Tuhan. Aku sudah gagal berbuat dosa," doa Poltak dalam hati.

"Oi, siapa di situ!" Tiba-tiba terdengar teriakan dari arah depan rumah. 

Mampuslah. Suara itu tak asing lagi. Itu Ama Ringkot. (Bersambung)

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun