Keahlian belanja pembalut itu rupanya membikin mas dan mbak kasir minimarket takjub. Mereka senyum-senyum simpul saat Poltak membayar belanjaannya. Untung masker Poltak tak pernah kendor. Jadi tak sampailah kenal wajah.
"Itu yang gede itu ukuran apa ya, mas?" tanya Poltak, sambil menunjuk kemasan pembalut ukuran jumbo. "Oh, itu pembalut untuk lansia beser, Pak." Astaga! Jangan sampai saya pakai itu suatu saat. Poltak membatin, ngeri.
Jangan dipikir urusan sudah beres jika pembalut tersedia dalam jumlah, jenis, tipe, dan merek yang tepat. Â "Pak, kertas bekas untuk pembalut bekas habis!" Â Anak gadisnya berteriak dengan wajah cemberut. Â
"Ambil sendiri di perpustakaan." Â
"Malas, Pak. Tolongin!" Wajahnya semakin cemberut.Â
"Astaganasib!" Â Gondok boleh, tabah harus. Mesti Poltak juga yang menyediakan kertas bekas itu.
Kadang Poltak berpikir, datang bulan memang diadakan Tuhan sebagai jalan perempuan mempersekusi lelaki yang mencintainya.Â
Sebab jika memperturutkan akal sehat, urusan ambil kertas bekas untuk pembungkus pembalut bekas adalah hal yang remeh dan ringan. Â Sakit perut bukan alasan yang memadai untuk tak mampu mengambilnya. Tapi itu terjadi.
"Mengapa dunia medis tak bisa menciptakan ramuan antigalak, antijudes, antistres, dan anti-antinegatif lainnya untuk perempuan yang sedang datang bulan?" Poltak suatu waktu bertanya kepada dokter Joko, sahabatnya.Â
"Oh, tak bisalah itu," kata dokter Joko. "Itu konsekuensi dari tragedi buah apel yang diwariskan Adam dan Hawa. Â Perempuan harus mengalami kesakitan, dan lelaki harus ikut menderita karenanya. Â Sebab bukankah lelaki ikut makan apel itu?"
Alamakjang! Dia itu dokter, apa ustad, apa penginjil, ya! Â Semakin kabur saja batas diferensisasi profesi di masa kini.