Bayangkan situasi ini. Seorang lelaki berada di tengah  istrinya dan dua orang anak gadisnya yang sedang kompak datang bulan. Bisa dibayangkan bagaimana rasanya?
Ah, jangan dibayangkan. Kita tanya Poltak saja. Dia yang sudah kenyang dengan pengalaman macam itu.
Jangan pula tanya Engkong. Dia tipe lelaki ortodoks yang tak mau kelibet tetek-bengek datang bulan. Terutama bengeknya.
Begini kata Poltak. Satu bulan di langit malam, oh, Â betapa indahnya. Tapi tiga datang bulan di rumahmu, ah, betapa berat uji ketabahan.
Maka, masih kata Poltak, berbahagialah kaum lelaki karena Tuhan mengaruniai mereka tabah yang panjang. Itu berguna banget menghadapi galak dan judes yang panjang dari istri dan anak-anak gadisnya, saat mereka kompak sama-sama menstruasi.
Poltak benar belaka. Tuhan tak pernah mencobai hamba-Nya lebih dari daya tanggungnya. Dengan tabah yang panjang, karunia Tuhan, Poltak telah selamat jaya melaluinya.
Poltak sudah terbiasa jadi Lelaki Siaga. Siap memenuhi kebutuhan mendadak anak gadis dan istri yang sedang datang bulan. Harus begitu kalau tak mau jadi korban kegalakan bin kejudesan berjamaah di rumah.
Soal pembalut misalnya. Harus tersedia segala ukuran. Mulai dari yang setipis bulu angsa sampai setebal telapak tangan. Mulai dari yang pendek sampai yang panjang. Dari yang slim sampai lebar bersayap. Itu gunanya beda-beda. Tergantung debit datang bulan.
Lama-lama Poltak mengembangkan sendiri ilmu baru. Pembalutologi. Ilmu pengetahuan tentang pembalut perempuan. Â
Itu ilmu maha penting. Dalam situasi darurat, habis pembalut, dia harus siap pergi ke minimarket untuk membelinya. Harus tepat merek, tipe, dan ukurannya. Petaka kalau sampai salah, kawan.